Tohom yang juga Pengamat Energi dan Lingkunganini menambahkan bahwa kerusakan perairan akibat sampah plastik telah menjadi ancaman serius ketahanan pangan laut Indonesia.
Ia menyebut plastik mikro dan limbah rumah tangga yang terus masuk ke sungai menyebabkan kualitas air menurun dan ekosistem terancam punah.
Baca Juga:
MARTABAT Prabowo-Gibran Imbau Koperasi Desa Merah Putih Alokasikan Dana untuk Bangun Bank Sampah
“Persoalan ini bukan hanya soal kebiasaan buruk, tapi soal kurangnya kolaborasi antarorganisasi. Kalau MUI sudah mengeluarkan fatwa, maka ormas-ormas lain harus menjadikannya landasan bersama untuk mendorong gerakan sosial berskala nasional,” tutur Tohom.
Ia memandang bahwa kampanye anti-sampah harus bergerak dari berbagai penjuru: dari masjid, gereja, dan rumah ibadah; dari sekolah dan kampus; hingga komunitas pesisir dan pedesaan.
Inilah bentuk baru gerakan lingkungan yang tidak hanya berbasis regulasi, tetapi juga berbasis nilai moral, spiritual, dan kepedulian sosial.
Baca Juga:
Berkontribusi Terhadap Lingkungan, ALPERKLINAS Apresiasi Kolaborasi PLN–KLH Bersihkan Sampah dan Tanam Pohon di Kali Ciliwung
“Kita perlu menciptakan budaya baru: budaya membuang sampah pada tempatnya sebagai bagian dari akhlak publik. Ini bukan sekadar program kebersihan, tetapi pendidikan karakter bangsa,” tegasnya.
Tohom mengungkapkan perlu ada edukasi publik dan kampanye media sosial untuk mempercepat perubahan perilaku masyarakat. Menurutnya, gerakan lingkungan tidak boleh terpisah dari gerakan sosial.
“Selama sampah masih dibuang ke sungai dan laut, maka kita sedang merusak rumah kita sendiri,” pungkasnya.