Pembangunan pagar itu terus berlanjut, mempersempit ruang nelayan untuk mencari ikan. Salah satu nelayan, Gani, mengaku pendapatannya merosot tajam.
Sebelumnya, ia bisa menghasilkan Rp150 ribu per hari dari berburu cumi-cumi, namun kini hanya sekitar Rp50 ribu hingga Rp70 ribu per hari karena harus mengeluarkan lebih banyak biaya untuk solar.
Baca Juga:
Aneh dan Misterius! Pemerintah Tidak Tahu Siapa yang Bangun Pagar 30 Km di Laut Tangerang
"Solar dulu cuma habis seliter sehari, sekarang bisa dua liter. Dapat Rp100 ribu saja susah sekarang," ujar Gani.
Lebih dari 500 nelayan di Desa Ketapang mengalami nasib serupa. Mereka tidak hanya mengeluhkan penurunan pendapatan, tetapi juga merasa terancam karena harus melewati celah sempit pagar untuk mencapai lokasi ikan.
Selain itu, mereka khawatir bambu-bambu pagar yang terhempas ombak dapat membahayakan kapal mereka, terutama saat malam hari.
Baca Juga:
Tak Profesional Tangani Kasus Penembakan Bos Rental, Kapolsek Cinangka Dicopot
"Kalau ombak besar, bingung kami. Kalau malam, risikonya makin tinggi. Kalau siang masih kelihatan, tapi malam? Kalau kena badan kapal, bisa bocor, dan itu berbahaya," keluh seorang nelayan.
Pagar misterius itu tampak tersusun rapi, bahkan sebagian besar telah menyerupai jembatan yang dapat dilintasi oleh manusia.
Di beberapa titik, terdapat celah selebar sekitar lima meter yang menjadi satu-satunya akses bagi nelayan untuk berlayar menuju lokasi penangkapan ikan.