Permohonan yang dicabut tersebut pada awalnya menguji konstitusionalitas Pasal 22 ayat (2) UU Kementerian Negara.
Pasal tersebut menyatakan, “Pengangkatan dan pemberhentian Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak prerogatif Presiden.”
Baca Juga:
HGU 190 Tahun Gugur, Ini Respons Tegas Airlangga soal Masa Depan IKN
Menurut Pemohon, ketentuan ini dinilai tidak memberikan batasan eksplisit bagi ketua umum partai politik atau pejabat struktural partai untuk menduduki jabatan menteri dalam kabinet.
Pemohon sebelumnya berpendapat bahwa kekosongan aturan itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antara posisi eksekutif dan kepentingan internal partai, membuka ruang praktik kolusi dan nepotisme, serta memungkinkan pengaruh kepentingan partisan dalam penyusunan kebijakan negara.
Ia menilai norma tersebut secara implisit membuka peluang rangkap jabatan politik yang bertentangan dengan prinsip negara hukum, tidak menjamin praktik pemerintahan yang bersih dari KKN, serta berpotensi mengganggu asas good governance.
Baca Juga:
Buntut Pengangkatan Kepala Bakom, Mahkamah Konstitusi Diminta Perjelas Fungsi Perpres
Kondisi tersebut menurut Pemohon mengancam hak konstitusionalnya atas kepastian hukum yang adil.
Adapun dalam petitum permohonannya sebelum dicabut, Pemohon meminta MK menyatakan bahwa Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 23 UU Kementerian Negara inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai sebagai larangan bagi ketua umum partai politik untuk menjadi menteri.
Selain itu, Pemohon juga meminta MK mewajibkan pemerintah dan DPR menyesuaikan norma agar mampu mencegah potensi konflik kepentingan dalam jabatan eksekutif.