WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pihak platform digital global didorong untuk menyediakan fitur pengecekan konten yang dibuat oleh kecerdasan buatan (AI) sebagai langkah membantu masyarakat menangkal penyebaran hoaks dan deepfake yang semakin marak akhir-akhir ini.
“Kita berharap platform media sosial global juga bisa melakukan filter, atau setidaknya menyediakan fitur untuk mengecek apakah sebuah konten buatan AI atau bukan. Fitur ini sebaiknya bisa digunakan publik secara gratis,” ujar Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, dalam Talkshow Bentara Nusantara bertajuk Urun Daya Tangkal Hoax dan Deepfake AI di kantor RRI, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
Baca Juga:
Dukung UMKM, Kemkomdigi Fokus Wujudkan Dunia Maya yang Produktif dan Aman
Menurut Nezar, keberadaan konten deepfake semakin mengkhawatirkan. Data dari Sensity AI menunjukkan kenaikan konten AI tersebut mencapai 550 persen dalam lima tahun terakhir.
“Saya yakin jumlahnya jauh lebih besar karena kemampuan aplikasi untuk membuat video atau foto deepfake kini sangat masif,” tambahnya.
Nezar menilai, platform digital sebenarnya memiliki teknologi komputasi dan algoritma yang dapat dimanfaatkan demi kepentingan publik.
Baca Juga:
Tersandung Konten Sensitif Tentang Perang, Google Didenda Rusia
“Kalau kita meragukan satu isi konten, bisa dicek dengan kekuatan komputasi dan AI yang mereka punya. Misalnya di Meta atau Google, fitur seperti ini bisa jadi bagian layanan standar,” jelasnya.
Pemerintah juga terus berupaya menjaga keseimbangan antara inovasi dan regulasi agar pemanfaatan AI tidak disalahgunakan untuk membuat konten hoaks.
Upaya ini dilakukan lewat perangkat hukum seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS), serta sejumlah aturan teknis pendukung lainnya.
Selain itu, pemerintah tengah menyiapkan regulasi khusus untuk pemanfaatan AI yang etis, bermakna, dan bertanggung jawab.
Tak hanya regulasi, Kementerian Komunikasi dan Digital juga menggandeng berbagai ekosistem, termasuk Mafindo dan media, dalam program pengecekan fakta.
“Ruang digital ini milik kita bersama, maka kita perlu kerja sama yang erat untuk menjaga publik dari hoaks dan konten negatif,” tegas Nezar Patria.
Ketua Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, menyampaikan bahwa fenomena deepfake pertama kali muncul di Indonesia pada 2023 dan kini berkembang sangat pesat.
Konten deepfake banyak disalahgunakan untuk penipuan digital dan manipulasi opini publik, terutama dalam ranah politik.
“Untuk isu politik juga ada tapi deepfake paling banyak digunakan untuk penipuan digital. Kalau ada konten hoaks bentuknya video yang muncul di tahun 2025 dengan tema penipuan digital, itu mayoritas adalah deepfake,” jelasnya.
Septiaji menegaskan bahwa Mafindo akan terus berkolaborasi dengan Kementerian Kominfo, media, dan komunitas literasi digital lainnya dalam melakukan pengecekan fakta terhadap konten hoaks, termasuk deepfake, yang beredar luas di internet.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]