WAHANANEWS.CO, Jakarta - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ahmad Doli Kurnia, menilai bahwa perbaikan sistem politik Indonesia semakin mendesak, terutama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 daerah.
Menurut Doli, jumlah daerah yang harus menggelar PSU kali ini merupakan yang terbanyak dalam sejarah politik Indonesia.
Baca Juga:
Dede Yusuf: Anggaran PSU Pilkada 2024 Bisa Capai Rp1 Triliun, Pemerintah Harus Segera Bertindak
"Ini catatan sejarah, belum pernah sebelumnya sebanyak ini PSU dilakukan," ujar Doli dalam diskusi Politics and Colleagues Breakfast (PCB) bertema Urgensi Perbaikan Sistem Politik di Indonesia di Jakarta, Jumat (28/2/2025).
Doli menegaskan bahwa banyaknya PSU menunjukkan kurangnya ketelitian dari penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh terhadap sistem politik menjadi keharusan bagi DPR RI dan pemerintah.
"Saatnya kita berpikir serius tentang reformasi sistem politik, bukan hanya dalam bentuk revisi undang-undang, tetapi juga mempertimbangkan amendemen UUD 1945," tambahnya.
Baca Juga:
MK Perintahkan PSU Bengkulu Selatan, KNPI Desak Komisioner KPU Mundur
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mengevaluasi jajarannya sebagai dampak dari putusan MK terkait PSU.
“Komisi II DPR RI meminta KPU dan Bawaslu RI untuk menindak tegas anggota di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota yang terbukti lalai, tidak profesional, atau berpihak pada pasangan calon tertentu,” ujar Dede di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025).
Dede juga mendorong Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI untuk menindaklanjuti aduan masyarakat terkait pelanggaran yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu di berbagai tingkatan.
“Penyelenggara pemilu harus tetap menjalankan tugas dengan profesional dan berintegritas,” tegasnya.
Terkait biaya PSU, Dede memperkirakan bahwa total anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan ulang Pilkada 2024 bisa mencapai Rp 1 triliun.
"Perkiraan KPU sekitar Rp486 miliar, Bawaslu sekitar Rp215 miliar, ditambah biaya tambahan untuk PSU sekitar Rp250 miliar. Jika dihitung secara kasar, totalnya bisa mencapai Rp900 miliar hingga Rp1 triliun," jelasnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi II dari Fraksi PKB, Indrajaya menyatakan, keteledoran KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara juga pengawas, adalah akar persoalan dari putusan MK untuk gelar PSU di sejumlah wilayah.
DKPP didesak untuk bertindak.
"Ini murni karena keteledoran KPU dan Bawaslu. DKPP harus memproses, menjadikan informasi ini sebagai laporan, dan menyidangkannya," kata Indrajaya dalam keterangannya, Jakarta, Selasa (25/2/2025).
Indrajaya menegaskan pemeriksaan administrasi pencalonan harusnya selesai saat pendaftaran KPU.
Berdasarkan asas-asas kode etik penyelenggara pemilu, disengaja atau tidak disengaja, menurut dia, KPU dan Bawaslu harus bertanggung jawab.
Dia mencontohkan putusan MK untuk PSU di Kabupaten Boven Digoel tanpa mengikutsertakan Calon Bupati Petrus Ricolombus Omba yang didiskualifikasi meski telah dinyatakan menang oleh KPU Boven Digoel.
Menurutnya, aneh jika KPU tak bisa mencari tahu soal status calon kepala daerah adalah mantan terpidana di Pengadilan Militer.
Dia menduga ada kesengajaan untuk menutup-nutupi fakta tersebut.
"Ini jelas keteledoran KPU dan Bawaslu di tingkat kabupaten, kota dan provinsi itu, maka kami berharap penyelenggara di atasnya dapat melapor ke DKPP. Jangan sampai kejadian serupa terus terulang, hanya keledai yang berulang jatuh ke lubang yang sama," ujar dia.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]