Hal tersebut dilakukan untuk menghindari adanya 'deadlock' dalam penetapan putusan pilpres kemarin rasio hakim menjadi 4 : 4, maka tentu akan panjang sekali urusannya.
"Tidak kalah penting, adalah proses dan seleksi dalam pengangkatan hakim MK yang harus transparan dan akuntabel. Ini sangat penting untuk menghindari proses seleksi yang terkesan lebih kuat aspek politisnya, begitu pula dengan lembaga penting lainnya seperti KPK" kata Umam.
Baca Juga:
The Lead Institute Universitas Paramadina Gelar Diskusi Kepemimpinan Profetik dan Pilkada 2024
Mahaarum Kusuma Pertiwi dosen Universitas Gadjah Mada memandang revisi UU MK sejak beberapa tahun terakhir memang tercatat penuh dengan kontroversi. Misalnya pada UU No. 8/ 2011 tentang masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua, penjelasan tentang sifat final dan mengikat putusan MK dengan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh; Menaikkan usia minimal dan usia pensiun.
Mahaarum juga memberikan catatan penting dari usulan revisi UU MK kali ini adalah revisi yang dibahas di masa reses DPR RI, lalu terkesan adanya political bribery pada tahun 2020 untuk memperlancar UU Cipta Kerja, dan juga kini adanya ancaman/hukuman terhadap hakim yang bersikap dissenting opinion pada sengketa Pilpres 2024.
"Belajar dari kasus Aswanto yang 'direcall' DPR yang merasa bertindak seperti ''Komisaris'' dari MK hal mana MK harus mengikuti apa maunya anggota DPR RI, padahal MK adalah lembaga yudisial yang terpisah dan harus independen. Tidak menutup kemungkinan juga ke depan akan terjadi lagi terhadap hakim yang dissenting opinion masa sidang Pilpres 2024" kata Mahaarum.
Baca Juga:
Universitas Paramadina Dorong Literasi Investasi Reksa Dana di Kalangan Mahasiswa
Kemudian catatan substansial lainnya dari usulan revisi UU MK yaitu masa jabatan hakim MK (10 tahun), yang setiap 5 tahun dievaluasi oleh lembaga pengusul.
"Dari yang bisa diamati dari usulan revisi UU MK adalah terjadinya politisasi yudisial dengan cara cherry picking judicial activism dan terkesan intolerable injustice pada Putusan 90, dan berdalih putusan MK final serta mengikat, sehingga tidak bisa dilakukan upaya hukum apapun meskipun MKMK telah memutus adanya conflict of interest" tutur Mahaarun.
Narasumber lainnya Prof. Fitra Arsil dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa legislasi parlemen saat ini sedang tertekan dengan berbagai cabang kekuasaan lain yang juga concern terhadap legislasi, misalnya eksekutif via presiden legislative power.