"Kekuasan presiden yang cenderung campur tangan membentuk legislasi yang bisa mengabaikan parlemen, contoh kasus yang banyak terjadi seperti di Amerika Latin soal presiden legislative power cenderung ingin membuat legislasi dan mengabaikan parlemen."
Dalam pandangan Fitra, ironi ini terjadi di Latin Amerika yang ternyata direstui oleh parlemen mirip legislasi parlementer, di mana keinginan Perdana Menteri yang ingin melakukan legislasi cenderung akan lolos di parlemen. Anehnya, hal itu juga terjadi di sistem presidensial, dengan oversize coalition, terjadi parlemen menyerahkan kekuasaan legislasinya ke presiden. Di sisi lain, ternyata juga ada kekuasaan kehakiman yang membentuk public policy. Judicial modern juga ternyata melakukan aktivitas tersebut.
Baca Juga:
The Lead Institute Universitas Paramadina Gelar Diskusi Kepemimpinan Profetik dan Pilkada 2024
"Pembedanya meski mereka semua melakukan legislasi, tapi ketika berbicara kekuasaan legislasi yang dilakukan oleh parlemen, dia punya fungsi representasi yang membedakan dengan lembaga lainnya" tutur Fitra.
MK bisa membuat keputusan yang mengikat semua warga negara, tapi dia tidak punya fungsi representasi. MK tidak perlu mendengar aspirasi masyarakat terlebih dulu, karena MK hanya bicara soal kebenaran hukum
"Karenanya, semua keputusannya harus berdasarkan gagasan akseptabilitas. Penerimaan publik. Dia juga satu-satunya yang punya meaningfull participation. Punya daerah pemilihan, sedang hakim tidak punya daerah pemilihan, begitu juga eksekutif", tegasnya.
Baca Juga:
Universitas Paramadina Dorong Literasi Investasi Reksa Dana di Kalangan Mahasiswa
[Redaktur: Amanda Zubehor]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.