WahanaNews.co, Jakarta - Revisi terhadap Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) ini menjadi isu yang menarik perhatian berbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi hukum, aktivis hingga masyarakat luas karena sangat strategisnya peran dan fungsi MK sebagai penjaga Marwah Konstitusi UUD 1945.
Hal ini disampaikan Fahmi Wibawa (Direktur Eksekutif LP3ES) pada webinar yang diadakan oleh Universitas Paramadina dan LP3ES bertema "Revisi UU Mahkamah Konstitusi: Bentuk Penyanderaan Hakim Konstitusi?", Minggu (26/5/2024) secara daring melalui zoom meeting.
Baca Juga:
The Lead Institute Universitas Paramadina Gelar Diskusi Kepemimpinan Profetik dan Pilkada 2024
Menurut Fahmi hal ini memunculkan banyaknya pertanyaan, akankah hasil revisi berdampak terhadap independensi lembaga dan kinerja para hakim konstitusi.
Terkait hal ini kata Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina mengungkapkan kegelisahannya "Setelah Presiden Jokowi berhasil mereformasi dan melemahkan undang-undang KPK, maka undang-undang yang lain juga ringan. Sekarang giliran MK yang di cabik-cabik, bahkan sekarang dimainkan dengan adanya UU saat ini." Ujarnya.
Ahmad Khoirul Umam Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) memaparkan bahwa pada tahun 2022-2023 yang lalu sejumlah elemen politik yang memiliki kepentingan untuk mengamankan agenda-agenda kepentingan ekonomi politiknya, ternyata 'dijegal' oleh putusan-putusan MK.
Baca Juga:
Universitas Paramadina Dorong Literasi Investasi Reksa Dana di Kalangan Mahasiswa
"Hal itu dianggap sebuah ketimpangan karena 9 (Sembilan) hakim MK seolah-olah lebih powerfull dibandingkan dengan 500-an anggota parlemen yang ada saat ini. Padahal dalam konteks tertentu apa yang dilakukan MK bisa menjadi koreksi bagi proses legislasi yang dianggap agak serampangan" tuturnya.
"Namun logika politik kita juga harus diperbaiki bahwa MK meskipun lembaga yudisial, tapi dia bukan sebuah lembaga yang berkarakter teknokratik yang kebal dari intervensi politik, manipulasi kekuasaan dan berbagai pengaruh ekonomi politik yang berasal dari lingkaran kekuasaan. Maka dari itu ketika muncul keputusan MK Nomor 90 seolah hal itu menjadi catatan berbeda, yang justru alami kemunduran dari perspektif penegakan konstitusi yang progresif di Indonesia" jelasnya.
Umam mengkritisi poin-poin perubahan, "Maka jika misalnya revisi UU MK perlu dilakukan, maka yang tetap perlu dilakukan adalah fungsi pengawasan. Namun pada saat yang sama ada poin-poin yang perlu dilakukan perbaikan misalnya perlu ada hakim ad hoc yang menggantikan hakim MK yang berhalangan hadir, sehingga komposisi hakim tetap ganjil (9 orang)" tegasnya.