Bukan melakukan repetisi dari karya orang lain, sekadar imitasi, dan apalagi plagiarisme.
Jika budaya riset itu hidup pada suatu bangsa, maka akan banyak lahir kreativitas, invensi, dan inovasi yang bisa membawa bangsa itu unggul dan mendapatkan tempat terhormat di percaturan global.
Baca Juga:
Pemko Medan Gelar Seminar Pemanfaatan Sumur Laluan untuk Atasi Genangan Air Hujan
Kerja riset itu secara etis harus ditopang dengan pengakuan terhadap karya-karya yang pernah dilakukan para ilmuwan sebelumnya dan posisi temuan atau inovasi baru yang kita hasilkan dalam kerangka dan tradisi keilmuan yang ada.
Bukan sekadar memasukkannya dalam footnote atau daftar referensi yang sangat panjang atau menganggap bahwa diri kita sendirilah yang paling tahu.
Namun, sebuah pengakuan yang tulus bahwa para ilmuwan itu selalu berdiri di atas kerja dan temuan-temuan ilmiah sebelumnya, standing on the shoulders of giants.
Baca Juga:
Wuling Motor Akui Fast Charging Bisa Pengaruhi ‘Kesehatan’ Baterai Kendaraan Listrik
Budaya riset tak selalu identik dan tak mesti bergantung pada ketersediaan dana yang besar.
Jika pemerintah sekadar menyediakan dana besar tetapi ternyata tidak ada budaya riset yang baik, dana itu bisa saja akan menjadi ajang bancakan, pura-pura riset, atau bahkan digunakan untuk hal-hal di luar riset sama sekali.
Namun, memang, ekosistem riset yang baik itu mesti ada agar tercipta riset dan inovasi yang unggul.