Seorang intelektual muda menelepon saya pada awal tahun 2022.
”Saya bukan tidak percaya dengan data soal kemiskinan. Namun, saya melihat sendiri bagaimana kemiskinan akut bisa ditemukan di desa-desa di Jawa. Sementara saya melihat manuver elite politik tertuju pada 2024, lalu siapa yang akan bekerja untuk Indonesia?” ujarnya.
Baca Juga:
Akun X Pelesetkan Logo NU Jadi 'Ulama Nambang' Warga Surabaya Lapor Polisi
Saya sendiri punya harapan, kosongnya kekuatan tengah yang bisa menjalankan peran sebagai intermediasi antara negara dan masyarakat juga bisa diisi oleh Gus Yahya dan Nahdlatul Ulama.
Partai politik memang sedang menikmati masa keemasan dengan menguatnya oligarki.
Undang-undang bisa dengan cepat diproduksi ketika ada kepentingan oligarki di sana.
Baca Juga:
MUI Larang Salam Lintas Agama, Ini Tanggapan PBNU
Namun, ketika undang-undang dituntut publik untuk kepentingan publik, justru berputar-putar tak keruan.
Ketika kekerasan seksual terus merebak, DPR justru menghindari percepatan pembahasan.
Saat UU Perampasan Aset dibutuhkan, DPR justru lebih senang membahas RUU Ibu Kota Negara.