Ketiga, mendukung cagub dengan elektabilitas tinggi bisa menimbulkan konflik kepentingan, terutama jika cagub tersebut memiliki afiliasi atau hubungan dengan partai lain atau kelompok tertentu yang bertentangan dengan kepentingan parpol. Dengan tidak mendukung cagub tersebut, parpol dapat menjaga independensi dan menghindari potensi konflik di masa depan.
Keempat, Parpol mungkin mempertimbangkan strategi jangka panjang dengan membentuk koalisi yang lebih solid dan berkelanjutan. Alih-alih mendukung calon populer yang mungkin hanya memberikan keuntungan jangka pendek, parpol bisa memilih untuk berinvestasi dalam aliansi strategis dengan partai lain yang memiliki visi dan misi yang lebih sejalan untuk mencapai tujuan politik yang lebih besar.
Baca Juga:
Ridwan Kamil Ucapkan Terima Kasih atas Dukungan Pemuda Pancasila di Pilkada DKI Jakarta
Kelima, memdukung cagub yang sangat populer bisa berarti menyerahkan sebagian besar kendali dan pengaruh kepada individu tersebut. Parpol yang ingin mempertahankan kendali atas agenda politik dan kebijakan mungkin lebih memilih calon yang lebih mudah dikendalikan dan lebih loyal terhadap partai.
Keenam, mengandalkan satu figur yang memiliki elektabilitas tinggi dapat berisiko jika figur tersebut gagal atau terlibat dalam skandal. Dengan tidak mendukung calon tersebut, parpol berupaya untuk mencegah ketergantungan yang berlebihan pada individu dan memastikan bahwa kekuatan partai tersebar merata di antara banyak kader.
Ketujuh, Cagub dengan elektabilitas tinggi sering kali menjadi sosok yang polarizing, menimbulkan perpecahan di kalangan pemilih dan internal partai. Parpol mungkin memilih untuk tidak mendukung calon semacam itu untuk menjaga harmoni internal dan menghindari kontroversi yang dapat merugikan citra partai.
Baca Juga:
Debat Kedua Pilkada Jakarta Tanpa Kedip, PLN Jaga Pasokan Listriknya
Dengan demikian keputusan parpol untuk tidak mendukung cagub dengan elektabilitas tinggi memang tampak kontradiktif, namun bisa dimengerti jika dilihat dari perspektif strategis dan ideologis.
Mempertahankan konsistensi ideologis, membangun kader internal, menghindari konflik kepentingan, dan menjaga kendali serta pengaruh adalah beberapa alasan yang mendasari keputusan ini.
Dalam politik, keputusan semacam ini sering kali didasarkan pada pertimbangan jangka panjang dan kepentingan keseluruhan partai, bukan semata-mata pada popularitas individu.