Laporan ini tak boleh hanya dilihat sebagai angka statistik karena korban adalah individu yang menderita secara fisik dan psikis, bahkan rusak masa depannya, apalagi dengan stigma dari masyarakat yang kerap harus mereka terima.
Sangat penting mempunyai institusi dan penegak hukum yang berperspektif korban dan memahami kekerasan seksual.
Baca Juga:
Ahli Bahas Perlakuan Tidak Manusiawi Rohingya di Sidang MK
Presiden, Ketua DPR, menteri, Kepala Polri, ataupun Jaksa Agung tak akan menjadi pihak yang pertama kali menemui korban secara langsung.
Namun, mereka bisa membuat kebijakan yang membuat garda depan penanganan kasus kekerasan seksual lebih baik.
Caranya, dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Baca Juga:
Pakar: Pemilih Muda Dapat Hadirkan Iklim Politik Lebih Baik
UU harus dilihat sebagai komitmen untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya cara memberi sanksi pidana.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga membahas soal pencegahan kekerasan seksual, penanganan korban, pembangunan sistem yang tidak lagi menempatkan korban dalam posisi tertuduh, dan perlakuan penegak hukum kepada korban.
Tak terperikan rasanya membayangkan tiga anak kecil di Luwu Timur harus menderita secara fisik dan rusak masa depannya.