Dengan demikian, hakim tidak boleh terkecoh oleh “kebaikan palsu” ini. Kebaikan yang dipoles dari uang haram tidak dapat diakui sebagai keadaan yang meringankan.
Menggunakan pendekatan filsafat, tindakan tersebut merupakan ekspresi sifat jahat: sifat jahat pertama adalah mencuri milik negara; sifat jahat kedua adalah menggunakan uang curian untuk menciptakan kesan kebaikan. Dua lapis sifat jahat inilah yang justru harus diberi bobot pemberat dalam pertimbangan hakim, bukan pertimbangan yang meringankan.
Baca Juga:
Kejati Bengkulu Geledah Rumah 9 Koruptor Batubara Rp500 Miliar: Barang dan Sertifikat Berharga Disita.
Di sinilah muncul analogi yang sering keliru, yakni ketika pelaku tipikor membandingkan dirinya dengan Robin Hood.
Legenda Robin Hood adalah kisah pahlawan rakyat Inggris abad pertengahan yang mencuri dari kaum bangsawan korup untuk dibagikan kepada orang miskin. Ia beroperasi di Hutan Sherwood dan melawan penindasan Sheriff Nottingham saat Raja Richard I pergi berperang.
Dalam konteks moral legenda itu, Robin Hood mencuri dari sistem yang menindas untuk mengembalikan keadilan sosial.
Baca Juga:
KPK Dukung Penyitaan Aset Koruptor, tapi Tak Sejalan dengan Prabowo soal Keluarga
Sedangkan koruptor modern adalah antitesis dari itu semua. Mereka mencuri bukan dari penguasa tiran, tetapi dari rakyat. Mereka merampok anggaran pendidikan, kesehatan, bansos, dan Pembangunan infrastruktur. Mereka bukan memperjuangkan keadilan, tetapi menghancurkannya.
Dan yang lebih ironis, sebagian dari mereka menyisihkan sedikit uang korupsinya untuk kegiatan sosial demi membangun citra sebagai Robin Hood masa kini. Padahal, apa yang mereka lakukan tidak lebih dari “pahlawan kesiangan” yang menyamarkan kejahatan sebagai kebaikan.
Oleh karena itu, hakim tidak boleh menjadikan mitos Robin Hood sebagai pembenaran moral. Koruptor yang menyumbang dari uang haram tidak sedang melakukan perbuatan baik, melainkan perbuatan jahat yang dibungkus rapi.