Selama ini, tidak sedikit terdakwa tipikor yang datang ke persidangan dengan membawa “rekam jejak sosial”, menunjukkan bahwa sebagian uang yang mereka korup digunakan untuk membangun jembatan desa, merenovasi tempat ibadah, menyumbang panti asuhan, hingga mendanai kegiatan social masyarakat.
Mereka ingin tampil sebagai dermawan, seakan-akan perbuatannya tidak sepenuhnya memalukan. Padahal, di balik citra kedermawanan itu terdapat kenyataan buruk bahwa uang yang mereka gunakan adalah milik publik yang dirampas dengan cara sistematis.
Baca Juga:
Kejati Bengkulu Geledah Rumah 9 Koruptor Batubara Rp500 Miliar: Barang dan Sertifikat Berharga Disita.
Jika dianalisis lebih dalam, tindakan “amal” tersebut bukanlah bukti sifat baik, melainkan bentuk manipulasi moral. Dalam filsafat etika, suatu tindakan hanya dapat disebut baik jika bersumber dari hal yang benar dan dilakukan dengan motif kebajikan.
Kedermawanan tidak dapat lahir dari sesuatu yang haram. Uang hasil korupsi yang dialirkan ke kegiatan social bukanlah kebaikan, tetapi keburukan berlapis: pertama, karena korupsi itu sendiri adalah kejahatan luar biasa; kedua, karena pelaku berupaya menutupi kejahatan itu dengan tirai amal semu.
Para pelaku bersembunyi di balik simbol keagamaan dan kemanusiaan demi menciptakan kesan seolah mereka peduli rakyat. Padahal hakikatnya, mereka menyumbangkan uang rakyat kepada rakyat untuk menutupi fakta bahwa mereka telah merampok hak rakyat.
Baca Juga:
KPK Dukung Penyitaan Aset Koruptor, tapi Tak Sejalan dengan Prabowo soal Keluarga
Dari perspektif a contrario terhadap Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU 48/2009, “sifat baik” terdakwa yang dapat menjadi alasan meringankan seharusnya merupakan sifat atau tindakan positif yang sama sekali tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukan.
Misalnya, terdakwa memiliki kontribusi nyata bagi masyarakat sebelum melakukan tindak pidana, bersikap kooperatif selama persidangan seperti turut serta membongkar kejahatan yang lebih besar, atau minimal menunjukkan penyesalan tulus.
Namun, ketika terdakwa menyumbangkan uang yang berasal dari kejahatan, maka tindakan itu bukanlah nilai moral yang dapat dinilai sebagai kebaikan. Justru hal tersebut menunjukkan kecenderungan manipulatif, sebab pelaku tidak hanya mengambil uang negara, tetapi juga menggunakan sebagian dari uang curian itu untuk membangun citra dirinya sebagai pahlawan sosial.