Hakim harus membaca realitas bukan dari apa yang ditampilkan terdakwa, tetapi dari sumber dan motif tindakan tersebut. Jika motifnya adalah menutupi kesalahan, membentuk opininya, atau mengurangi pidana, maka tindakan itu adalah keburukan yang harus diperhitungkan sebagai hal yang memberatkan.
Pada akhirnya, memaknai Pasal 8 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, jelas bahwa perbuatan terdakwa yang mengalirkan uang korupsi untuk kegiatan sosial keagamaan merupakan sifat jahat, bukan sifat baik. Tameng sosial dan agama yang digunakan koruptor untuk melindungi dirinya dari kecaman publik justru memperlihatkan kualitas moral yang lebih buruk.
Baca Juga:
Kejati Bengkulu Geledah Rumah 9 Koruptor Batubara Rp500 Miliar: Barang dan Sertifikat Berharga Disita.
Terdakwa yang demikian seharusnya dijatuhi hukuman yang lebih berat, sebab ia tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga memanipulasi nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan untuk kepentingan dirinya.
Hakim dalam perkara tipikor dituntut menggali nurani terdalamnya, memahami manipulasi moral yang terselubung, dan memastikan bahwa keadilan tidak terkecoh oleh topeng kedermawanan palsu. Koruptor yang berlagak Robin Hood tetaplah koruptor, dan keadilan sejati menuntut agar ia dihukum sebagaimana hakikat kejahatannya, bukan sebagaimana citra yang ingin ia tampilkan.
[Redaktur: Alpredo Gultom]
Baca Juga:
KPK Dukung Penyitaan Aset Koruptor, tapi Tak Sejalan dengan Prabowo soal Keluarga
Saut Erwin Hartono seorang Hakim PN Jaksel/Hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta. Tulisan ini telah tayang di Dandapala, merupakan pendapat pribadi bukan pendapat lemabaga. Disadur Selasa (9/12/2025).
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.