Tuntutan atau gugatan ganti rugi bisa menggunakan instrumen hukum berupa gugatan publik (public litigation), baik melalui class action, gugatan legal standing (hak gugat LSM), dan gugatan citizens law suit (gugatan warga negara).
Aspek hukum gugatan publik tersebut sudah sangat kuat diatur, baik diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, UU Lingkungan Hidup, bahkan UU Bangunan Gedung.
Baca Juga:
Kasus MBG Makan Korban 6.452 Siswa, YLKI Buka Jalan Gugatan Hukum
Bahkan untuk gugatan class action dan legal standing sudah mempunyai hukum acara secara khusus, yakni Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2003.
Lalu siapa saja yang layak digugat? Gugatan publik tersebut bisa diajukan secara tanggung renteng. Dari sisi kebijakan maka gugatan publik ditujukan kepada presiden, menteri, gubernur, bupati dst. Pejabat publik dari level Presiden layak digugat, karena kompetensinya dalam perizinan.
Bahkan mantan presiden/mantan menteri dan pejabat publik lainnya patut digugat. Dari sisi korporasi, gugatan publik bisa ditujukan kepada korporasi yang telah melakukan deforestasi, baik untuk keperluan perkebunan, pertambangan, pertanian, dll. Termasuk pada ormas yang melakukan tindakan serupa.
Baca Juga:
Cemas Akan Kerusakan Lingkungan? Ayo, Ajukan Gugatan Class Action!
Lalu tujuannya apa dengan gugatan publik tersebut? Pertama, tentu untuk menuntut ganti rugi dan kompensasi atas terjadinya bencana ekologis tersebut, baik kerugian materiil maupun immateriil. Gugatan ini ditujukan atas dalil kebijakan/perizinan yang diberikan untuk merambah hutan, atau bahkan dalam hal managemen penanggulangan bencana yang dianggap lambat.
Sebagai contoh, mantan Menteri Kehutanan Zulkifli layak digugat karena telah memberikan izin HPH hingga 1,6 juta hektar selama beliau menjadi menteri kehutanan. Presiden Prabowo Soebianto pun layak digugat, karena misalnya enggan mencanangkan bahwa bencana Sumatera sebagai bencana nasional, sehingga berdampak tidak optimal dalam penanganan bencana.
Kedua, selain menuntut ganti rugi, gugatan publik dilakukan juga bertujuan untuk memberikan pelajaran yang keras pada semua pihak atas bencana ekologis yang timbul. Pemerintah digugat karena dengan dalih ugal-ugalan dalam memberikan perizinan perambahan hutab, nyaris tanpa kendali, sehingga hutan Sumatra menjadi lenyap, seperti headline Harian Kompas.