Oleh NABHAN AIQANI
Baca Juga:
Kemenag Buka Suara Soal Pembongkaran Rumah Ibadah Ahmadiyah Sintang
RIUH kasus penyerangan kelompok orang yang menyatakan diri sebagai Aliansi Melayu dan POM ke masjid Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Jumat, 3 September 2021, menyeret berbagai regulasi dan kebijakan untuk muncul ke permukaan.
Peristiwa ini merupakan buntut dari keluarnya Surat Edaran Bupati Sintang tanggal 29 April 2021 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat di Kabupaten Sintang yang disusul dengan penyegelan masjid pada 14 Agustus 2021.
Baca Juga:
Masjid Jemaah Ahmadiyah Tetap Difungsikan Sebagai Masjid Untuk Masyarakat Umum
Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung (SKB 3 Menteri) Nomor 3 Tahun 2008 dianggap sebagai dalih dan alas hak bagi sekelompok orang untuk melakukan aksi represif kepada kelompok Ahmadiyah.
Kebijakan yang sejatinya bersumber dari pusat tak ayal menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan turunan serupa.
Karena itu, acap kali dikapitalisasi sebagai bentuk pembenaran atas aksi represif dan penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah.