Tidak seperti alat bukti lainnya, alat bukti huruf h ini tidak memiliki kriteria dan penjelasannya dalam undang-undang tersebut. Lalu, bagaimana hakim dalam persidangan dapat menilai syarat formil dan substansi dari alat bukti ini?
Ketiga, pengaturan restitusi yang masih belum lengkap. Pelaksanaan sita dalam restitusi belum tegas diatur apakah dilakukan Penyidik atau dapat dilakukan oleh Jaksa, kapan sita tersebut dilakukan, apakah hakim dapat memerintah Jaksa/Penyidik melakukan sita atas harta kekayaan tersebut?
Baca Juga:
Tok! KUHAP dan KUHP Baru Sudah Lengkap, Tahun Depan Berlaku
Undang-undang ini juga belum mengatur mengenai restitusi yang diajukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, Perma 1/2022 lebih progresif dan komprehensif dalam mengatur restitusi, meski belum mencakup restitusi dalam UU 12/2022.
Hal yang dapat diupayakan
Baca Juga:
Ikadin Sebut Jika RKUHAP Tak Segera Disahkan Bisa Picu Kegaduhan Hukum
Dalam hal hukum acara pidana yang demikian, peran hakim dalam memberikan keadilan prosedural menjadi semakin penting dan dibutuhkan. Hal ini agar terhindar dari menghasilkan putusan yang tidak memenuhi keadilan dan menghasilkan fruit from poisonous tree.
Dalam hal ini, sesuai dengan Pasal 5 UU 48/2009, maka hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Dalam konteks hukum pidana, pemenuhan HAM harus memberikan bobot paling besar dalam penggunaan Pasal 5 UU 48/2009. Mengingat HAM adalah pondasi utama dalam hukum pidana. Beberapa orang mungkin berpendapat penafsiran hukum acara sama sekali tidak boleh dilakukan.