Meskipun setiap agama, terutama agama-agama besar seperti Kristen dan Islam, memiliki elemen yang mentradisikan pembenaran kekerasan, ajaran yang mengandung pesan rohani semestinya lebih diprioritaskan.
Kedua, perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi adalah keniscayaan.
Baca Juga:
Paus Benediktus Meninggal Dunia, Menag: Dia Sosok yang Jembatani Perbedaan
Sementara kitab-kitab suci agama, wahyu Tuhan yang dibukukan sejak ribuan tahun silam, tak hanya berisi ajaran yang bersifat doktrinal, tetapi juga mengandung watak fondasionalisme (kebenaran absolut yang tak dapat disejajarkan dengan kebenaran lainnya, termasuk kebenaran dari agama yang berbeda).
Berbagai multitafsir, pembenaran sepihak yang sering menjadi penyebab konflik verbal atau fisik mengisyaratkan jika kitab suci agama tak lagi memadai, mampu mewadahi, dan bisa menjadi penyejuk spiritual masyarakat bangsa dengan segala kompleksitas persoalannya di abad ke-21 ini.
Ketiga, strategi moderasi beragama di Indonesia bisa dilakukan lewat budaya dalam konteks merawat heterogenitas, dengan Pancasila sebagai warisan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Baca Juga:
Beri Sambutan Natal, Yaqut Bahas Pemimpin yang Hargai Keragaman
Sejauh ini, Pancasila realitasnya telah berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya Indonesia.
Nilai-nilai agama dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal telah mampu menjaga kerukunan beragama dan keamanan bangsa.
Itulah sesungguhnya jati diri bangsa Indonesia, bangsa yang hidup dalam negara yang tak mendasarkan diri pada ”satu warna” agama, melainkan religious nation state atau negara kebangsaan yang berketuhanan.