Mengerikan sekali kualitas pelayanan jasa angkutan udara kita saat ini. Dari jumlah itu sekitar 70% dilayani oleh Lion Group (Lion, Batik, Wings, dan Super Air Jet).
Masih berdasarkan data dari Kemenhub, hingga 30 Agustus 2023 kesiapan armada pesawat penumpang niaga berjadwal (AoC 121 dan 135) hanya tinggal 393 pesawat yang siap beroperasi (GA Group: 96, LAG: 223, Pelita Air: 7, Susi Air: 27, Sriwijaya Group: 5, Trigana: 7 dan Transusa: 5) karena sisanya 173 pesawat dalam perawatan dan tidak terbang atau dilarang terbang oleh lessor.
Baca Juga:
Kesalahan Fatal Qantas, Tiket Kelas Satu Dibandrol dengan Diskon 85%
Dari yang masih terbang pun kondisinya tidak baik-baik amat; sebagian ada yang bermasalah tetapi masih laik terbang menurut standar Direktorat Perhubungan Udara, namun tetap riskan untuk terbang. Apalagi jika cuaca buruk dan membutuhkan awak serta pesawat yang prima.
Ratusan pesawat yang sedang dikandangkan juga tidak dapat langsung diperbaiki karena sulit dan mahalnya suku cadang atau dilarang terbang oleh lessor (karena menunggak cicilan) dan lain-lain.
Suku cadang pesawat saat ini memang langka di dunia dan harganya mahal sebagai dampak saling mengembargo dalam kasus perang Rusia - Ukraina.
Baca Juga:
Avtur Ramah Lingkungan, Senjata Baru Indonesia di Pasar Penerbangan Dunia
Seperti kita ketahui bahwa logam sebagai bahan dasar pembuatan suku cadang pesawat berasal dari kawasan Rusia, sementara industrinya ada di Kawasan Eropa dan Amerika. Jadi dampak konflik Rusia - Ukraina sudah merambah ke industri penerbangan dunia secara keseluruhan.
Kondisi tersebut diperparah dengan harga avtur yang terus meningkat sebagai dampak US dan Arab Saudi mengurangi kuota mereka dan juga pelemahan nilai rupiah.
Harga avtur per 23 September 2023 rata rata Rp 17.000 per liter dan akan menuju Rp 19.000 per liter berikut pajak. Jadi hari ini jangan berharap ada tiket murah termasuk di low cost carrier.