WahanaNews.co, Jakarta - Terkait syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), dua mahasiswa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan sidang ulang,
Selain mahasiswa bernama Ilham Maulana dan Asy Syifa Nuril Jannah, advokat Lamria Siagian dan Ridwan Darmawan turut bergabung sebagai pihak pemohon dengan gugatan yang sama.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum sebagaimana dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 sepanjang frasa 'atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah', bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum penggugat yang dilansir situs MKRI, Senin (6/11/2023) mengutip dari CNN Indonesia.
Dalam gugatan ini, keempat penggugat itu dalam permohonan provinsinya juga meminta agar MK tak melibatkan Ketua MK Anwar Usman dalam mengadili gugatan ini.
MK diminta untuk tak melibatkan Anwar dalam mengadili gugatan ini untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest).
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
"Menyatakan, Memeriksa, Mengadili, dan Memutus Permohonan PARA PEMOHON dengan tidak melibatkan Majelis Hakim Anwar Usman," pinta para penggugat.
Lebih lanjut, masih dalam permohon provisi para penggugat, mereka meminta MK agar menginstruksikan KPU untuk membatalkan penerapan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum sebagaimana dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada peraturan KPU soal pendaftaran capres-cawapres.
"Memerintahkan pihak terkait dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum untuk mendiskualifikasi Pasangan Capres dan Cawapres yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum," tulisnya.
MK dinilai harus melakukan sidang ulang perkara yang telah diadili dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 ini lantaran suara mayoritas hakim belum terpenuhi. Para penggugat pun turut membeberkan pertimbangan para hakim MK dalam putusan tersebut sebagai berikut.
Tiga orang hakim mengabulkan sebagian dengan memaknai syarat usia tetap 40 tahun sepanjang dimaknai berpengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih (elected official).
Dua orang hakim mengabulkan untuk sebagian dengan alasan yang berbeda terkait pertimbangannya, yakni hanya terbatas berpengalaman sebagai Gubernur yang kriterianya diserahkan kepada pembentuk undang-undang.
Satu orang hakim memiliki pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dengan menyatakan bahwa Pemohon Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
Dua orang hakim berpendapat bahwa perkara ini bukan merupakan permasalahan inkonstitusionalitas norma, tetapi merupakan opened legal policy; Satu orang hakim memiliki pendapat berbeda. permohonan pemohon (Dissenting Opinion), yaitu dinyatakan gugur.
"Sudah sepatutnya Rapat Pemusyawaratan Hakim untuk pengambilan Putusan Mahkamah dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 ditunda hingga mendapat kemufakatan yang bulat oleh para hakim dan tidak seharusnya melanjutkan Rapat Permusyawaratan Hakim dengan agenda Pengambilan Putusan Mahkamah," jelas para penggugat.
Sebagai informasi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 ini sebelumnya telah melahirkan banyak kontroversi.
Banyak pihak mengkritik putusan tersebut memunculkan kembali politik dinasti di Indonesia. Salah satunya, publik curiga putusan ini memuluskan langkah putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming jadi cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Buntutnya, sembilan hakim konstitusi dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik.
Teranyar, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi juga telah dibentuk dan diketuai Jimly Ashhddiqie untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik para hakim MK.
[Redaktur: Alpredo Gultom]