WahanaNews.co | Kinerja DPR periode 2019-2024 menuai kritik tajam
dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), khususnya dalam
pelaksanaan fungsi legislasi.
Pasalnya, DPR baru
berhasil menuntaskan sebanyak empat dari 248 rancangan undang-undang yang masuk
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.
Baca Juga:
Kementerian PU Siap Hadapi Mobilitas Masyarakat Saat Nataru 2025
Mengutip situs resmi
DPR, sebanyak empat RUU yang sudah tuntas itu adalah RUU tentang Perubahan atas
UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), RUU
tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus)
Papua, RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai,
serta RUU Omnibus Law tentang Cipta Kerja.
Peneliti Formappi,
Lucius Karus, menilai,
kinerja DPR periode 2019-2024 bisa menjadi yang terburuk sejak era Reformasi.
Pasalnya, capaian DPR
periode 2019-2024 dalam bidang legislasi jauh dengan capaian periode
sebelumnya.
Baca Juga:
Pj Bupati Abdya Sunawardi Hadiri Rapat Kerja dan Dengar Pendapat DPR RI
Kinerja legislasi DPR
periode 2014-2019 sudah menuntaskan 16 RUU selama dua tahun awal masa bakti.
"Sementara yang
sekarang baru empat [RUU jadi UU]. Ini saja sudah menunjukkan potret atau
potensi DPR 2019-2024 ini menjadi DPR dengan kinerja terburuk, saya kira untuk
DPR-DPR era reformasi," kata Lucius, saat memaparkan hasil evaluasi Formappi terhadap
kinerja DPR pada Masa Sidang V Tahun Sidang 2020-2021, Kamis (12/8/2021).
Ia juga mengkritik
kinerja DPR sepanjang Masa Sidang V Tahun Sidang 2020-2021 yang hanya mampu
mengesahkan satu RUU dari daftar Prolegnas Prioritas 2021, yakni RUU Otsus
Papua.
Lucius menyayangkan DPR
tidak mampu mengesahkan sejumlah RUU yang pembahasannya sudah berlangsung
sangat lama, seperti RUU Perubahan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (ASN), RUU Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, dan RUU tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Berdasarkan itu,
menurutnya, kinerja DPR RI mengesahkan RUU Otsus Papua tidak layak diapresiasi.
"Padahal UU tentang
PDP dan penanggulangan bencana sangat dibutuhkan masyarakat. Karena itu
pengesahan RUU Perubahan UU Otsus Papua tersebut tidak layak mendapatkan
apresiasi. Apalagi karena proses pembahasannya sangat minim partisipasi
masyarakat," tuturnya.
Dalam kesempatan yang
sama, peneliti Formappi lainnya,
Albert Purwa,
menyatakan bahwa DPR semestinya bisa lebih produktif dalam melaksanakan fungsi
legislasi.
Menurutnya, hal tersebut
bisa dilakukan jika DPR konsisten dan berkomitmen untuk fokus bekerja sesuai
dengan fungsi pokok.
Albert berkata,
keberhasilan memenuhi target pengesahan RUU yang sudah ditetapkan dalam
Prolegnas merupakan tolok ukurnya.
"Diperpanjangnya
kembali pembahasan RUU PDP dan perubahan UU Penanggulangan Bencana merupakan
salah satu contoh tentang rendahnya komitmen DPR dan Pemerintah untuk merespons
persoalan nyata yang terjadi di tengah masyarakat," imbuhnya.
Wartawan
sudah menghubungi Wakil
Ketua DPR,
Azis Syamsuddin,
untuk mengonfirmasi hal tersebut.
Namun yang bersangkutan
belum merespons. [dhn]