Dia juga tidak ingin lagi rakyat terbelah menjadi dua kubu hingga muncul label cebong dan kampres. Belum lagi, ia menyinggung biaya Pemilu Serentak 2024 sangat mahal dan menguras kas negara.
Luhut mengaku, mendapat aspirasi dari rakyat yang tidak ingin ada pemilu yang menelan anggaran sampai Rp 100 triliun lebih, apalagi pada masa pemiluhan ekonomi seperti sekarang.
Baca Juga:
Luhut Bongkar Strategi Penting Pemerintah Hadapi Pandemi di Hadapan Kabinet Merah Putih
"Kita coba apa tangkap dari publik suara big data itu bilang kita mau habisin RP 100 triliun lebih untuk milih ini, keadaan begini ngapain sih? Rp 110 triliun untuk pilpres dengan pilkada, kan serentak? Itu rakyat yang ngomong," ujar Luhut.
Dia berani menyebut, ada kader partai oposisi juga yang ingin Pemilu 2024 ditunda. Karena itu, Luhut bakal menyerap semua aspirasi itu untuk dipertimbangkan.
"Ini kan ceruk ini orang-orang ini ada di Partai Demokrat, ada di Partai Gerindra, PDIP, PKB, ada di Golkar, dan di mana-mana ini ceruk ini, maka yang mendengarkan suara kami," ucap Luhut.
Baca Juga:
Penasaran? Simak, Ini Tugas Dewan Ekonomi Nasional yang Dipimpin Luhut
Tidak hanya itu, Luhut juga mengingatkan politikus atau pihak mana pun jangan sampai merasa suaranya seolah mewakili seluruh rakyat Indonesia. Karena suara politik itu sama dengan rakyat, seperti tukang pacul. Hal itu lantaran sistem pemilihan di Indonesia satu orang satu suara.
Sehingga, Luhut mengingatkan agar penolakan terhadap wacana pemilu ditunda tidak membawa-bawa suara rakyat. Apalagi, kata dia, rakyat masih sangat menghendaki Jokowi terus memimpin.
"Kan dibuktikan dalam survei itu kan, hampir dibuktikan 74 persen, kan ada yang merasa puas. Kalau dari big data itu hampir lebih akurat, populernya Pak Jokowi itu terus naik, sederhana, gak ada macam-macam, coba anak istrinya semuanya sederhana, kerja keras, semua didatangain, kita ini kadang-kadang takut," ucap Luhut.