WAHANANEWS.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan sidang lanjutan Perkara Nomor 201/PUU-XXIII/2025 yang menguji Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 mengenai Kementerian Negara terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Agenda persidangan digelar pada Rabu (19/11/2025) di Ruang Sidang Pleno MK dengan menghadirkan sejumlah pihak terkait.
Baca Juga:
Putusan MK Soal Tanah IKN: Hak Guna Usaha Tak Bisa Langsung 95 Tahun
Permohonan uji materi ini diajukan oleh advokat Windu Wijaya. Ia mempertanyakan kejelasan konstitusional frasa “diatur dengan Peraturan Presiden” dalam Pasal 25 ayat (4) UU Kementerian Negara.
Ketentuan tersebut, menurut Pemohon, berpotensi menimbulkan persoalan kewenangan karena memuat pendelegasian pengaturan soal lembaga pemerintah nonkementerian, lembaga nonstruktural, maupun lembaga lain yang berada di bawah Presiden.
Adapun Pasal 25 ayat (4) berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga pemerintah nonkementerian, lembaga nonstruktural, dan/atau lembaga pemerintah lainnya secara tersendiri diatur dengan Peraturan Presiden.”
Baca Juga:
MK Tolak Gugatan Karyawan yang Minta Pajak Uang Pensiun dan Pesangon Dihapus
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Windu Wijaya menyampaikan perbaikan permohonan, termasuk penjelasan mengenai kedudukan hukumnya (legal standing).
Ia merujuk pada arahan Majelis Panel Hakim dalam sidang sebelumnya.
“Suara Pemohon sebagai bagian dari suara rakyat merupakan dasar legitimasi politik Presiden dalam menjalankan kewenangannya. Suara ini tidak hanya melahirkan Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara tetapi juga menciptakan hubungan hukum langsung antara Pemohon dengan Presiden termasuk dengan Presiden RI ke-8,” ujarnya.
Windu menambahkan, relasi tersebut tidak hanya bersifat politis sebagai seorang pemilih, tetapi juga memiliki implikasi konstitusional.
Karena itu, ia menilai dirinya berhak memperoleh kepastian hukum terkait keabsahan pembentukan lembaga nonstruktural maupun proses pengangkatan pimpinannya, terutama bila dilakukan melalui keputusan Presiden.
Selain memperbaiki legal standing, Pemohon juga mengubah posita atau alasan permohonan.
Ia menegaskan bahwa ketentuan Pasal 25 ayat (4) memiliki norma yang tidak jelas karena tidak dijelaskan fungsi normatif Peraturan Presiden apakah sebagai dasar pembentukan lembaga nonstruktural, sebagai aturan pelaksanaan teknis, atau sekaligus sebagai landasan pengangkatan pejabat.
Ketidakjelasan ini, menurutnya, membuat Pemohon kehilangan dasar hukum untuk menyampaikan keberatan apabila Presiden membentuk atau mengangkat pimpinan lembaga melalui keputusan Presiden sebelum adanya dasar Perpres yang pasti.
Isu Pembentukan Bakom RI Jadi Sorotan
Dalam permohonannya, Windu juga menguraikan contoh konkret dari ketidakpastian hukum tersebut.
Ia menyebut bahwa hingga permohonan ini diajukan, Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto belum mencabut Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2024 tentang Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO). Perpres itu dinilai masih sah dan berlaku.
Namun, pada 17 September 2025, Presiden Prabowo memberhentikan Hasan Nasbi sebagai Kepala PCO dan melantik Angga Raka Prabowo sebagai Kepala Badan Komunikasi Pemerintah Republik Indonesia (Bakom RI) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 97/P Tahun 2025.
Padahal, menurut Pemohon, belum ada Perpres yang mengubah atau menetapkan nomenklatur lembaga dari PCO menjadi Bakom.
Tindakan tersebut, kata Windu, menimbulkan ketidakpastian hukum serta tidak sejalan dengan prinsip legalitas dalam sistem administrasi pemerintahan.
“Dalam praktik penyelenggaraan pemerintah bahwa pejabat atau jabatan publik diangkat terlebih dahulu sebelum dasar hukumnya jelas diatur dalam peraturan presiden. Kami menilai ada pelanggaran terhadap legalitas,” ujarnya di hadapan Majelis yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic dan M. Guntur Hamzah.
Windu menjelaskan bahwa ia telah mengirimkan surat permintaan informasi dan audiensi kepada Kementerian Sekretariat Negara serta Kepala Bakom guna meminta penjelasan dasar hukum perubahan nomenklatur tersebut.
Namun hingga sidang berlangsung, belum ada respons resmi dari kedua lembaga terkait.
Ia juga mengutip pemberitaan media yang menyebut pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) bahwa draf Peraturan Presiden tentang pembentukan Badan Komunikasi Pemerintah telah selesai dan tengah menunggu persetujuan Presiden.
Kondisi ini, menurut Pemohon, telah menimbulkan dualisme antara PCO dan Bakom karena adanya proses pemerintahan yang berjalan tanpa landasan hukum yang final.
Windu menilai bahwa situasi tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
Berdasarkan seluruh argumentasinya, Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa “diatur dengan Peraturan Presiden” dalam Pasal 25 ayat (4) UU Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945, kecuali jika dimaknai bahwa Peraturan Presiden berfungsi sebagai aturan pelaksana undang-undang sekaligus menjadi dasar hukum pembentukan, perubahan, atau pembubaran lembaga pemerintah nonkementerian dan lembaga nonstruktural.
Ia juga menegaskan bahwa pengangkatan pejabat lembaga hanya dapat dilakukan setelah Perpres yang menjadi landasan pembentukan lembaga tersebut ditetapkan dan berlaku secara sah.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]