WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kasus megakorupsi yang mengguncang dunia keuangan negara kembali mencapai puncaknya ketika eks Direktur Utama PT Taspen, Antonius NS Kosasih, dijatuhi hukuman berat karena terbukti menyelewengkan dana investasi hingga puluhan miliar rupiah.
Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Purwanto S Abdullah, memvonis Antonius untuk membayar uang pengganti senilai lebih dari Rp 29 miliar serta sejumlah mata uang asing hasil korupsi.
Baca Juga:
Hotman Paris Nilai Tom Lembong Layak Bebas, Kuasa Hukum Tom Balik Menyerang
“Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 29,152 miliar, 127.057 dollar Amerika Serikat (AS), 283.002 dollar Singapura, 10 ribu euro, 1.470 baht, 30 poundsterling, 128.000 yen, 500 dollar Hong Kong, dan 1,262 juta won, serta Rp 2.877.000,” ujar Hakim Purwanto dalam sidang pembacaan amar putusan di Pengadilan Tipikor.
Hakim menyebut uang pengganti itu merupakan hasil korupsi yang dinikmati langsung oleh Antonius Kosasih selama menjabat sebagai pimpinan BUMN pengelola dana pensiun aparatur sipil negara tersebut.
Jika uang pengganti itu tidak dibayarkan, Antonius terancam pidana tambahan selama tiga tahun penjara.
Baca Juga:
Eks Pejabat MA Zarof Ricar Minta Dana Rp 1 Miliar untuk Film "Sang Pengadil"
Selain itu, majelis hakim juga menjatuhkan pidana pokok 10 tahun penjara serta denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut hasil korupsi senilai Rp 29 miliar lebih itu digunakan oleh Antonius untuk membeli berbagai aset mewah, termasuk apartemen, kendaraan, dan tanah.
Aset-aset tersebut meliputi empat unit apartemen The Smith senilai Rp 10,7 miliar, dua unit apartemen Spring Wood senilai Rp 5 miliar, empat unit Sky House BSD senilai Rp 5 miliar, tiga bidang tanah di Serpong senilai Rp 4 miliar, satu unit apartemen Belleza senilai Rp 2 miliar, serta tiga mobil Honda senilai Rp 1,67 miliar.
Hakim menilai, deretan aset mewah itu tidak sepadan dengan penghasilan sah Antonius selama menjabat di PT Taspen dan sebagian bahkan tidak
dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), yang mengindikasikan upaya penyembunyian hasil kejahatan korupsi.
Selain Antonius, Direktur Utama PT Insight Investment Management (PT IIM), Ekiawan Heri Primaryanto, juga terbukti menikmati uang hasil korupsi sebesar 253.660 dolar Amerika Serikat.
Hakim menjelaskan, sebagian dana tersebut digunakan untuk membeli tanah seluas 200 meter persegi di kawasan Cipulir, Jakarta Selatan.
“Berdasarkan fakta persidangan, terbukti pembelian rumah tanah tersebut dilakukan secara bertahap mulai Maret 2019 dengan total nilai Rp 2,7 miliar, bertepatan dengan persiapan skema investasi reksadana I-Next G2,” ungkap Hakim Purwanto.
Meski Ekiawan berupaya meyakinkan pengadilan bahwa tanah tersebut dibeli dari penghasilan sah, majelis hakim menilai terdapat pencampuran antara pendapatan legal dan hasil tindak pidana.
Atas dasar itu, tanah beserta bangunannya disita negara untuk memulihkan kerugian keuangan negara.
Ekiawan dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti 253.660 dolar Amerika Serikat subsider dua tahun penjara.
Secara keseluruhan, perbuatan kedua terdakwa menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 1 triliun.
Majelis hakim meyakini perbuatan Antonius dan Ekiawan memenuhi unsur melawan hukum karena dilakukan secara sadar dan sistematis.
Salah satu pelanggaran yang disorot hakim adalah penunjukan PT Insight Investment Management (PT IIM) sebagai pengelola investasi reksadana I-Next G2 tanpa melalui proses tender yang sah.
Transaksi penjualan aset PT Taspen berupa sukuk ijarah SIAISA02 dan investasi dana Rp 1 triliun ke reksadana I-Next G2 melalui broker PT IIM dan KB Valbury Sekuritas Indonesia juga dinilai melanggar hukum karena tidak melalui kajian mendalam dan cenderung spekulatif.
Hakim menilai keputusan Antonius untuk membeli reksadana berisiko itu dilakukan secara terburu-buru dan tidak profesional.
Majelis akhirnya menegaskan bahwa kedua terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]