WahanaNews.co | Wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang disuarakan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan beberapa ketua umum partai politik, merupakan hal biasa dalam negara demokrasi.
Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Ubaidillah Amin Moch mengatakan, publik tidak perlu berlebihan menyikapi wacana penundaan Pemilu yang kencang disuarakan Luhut, termasuk menyerang sisi personal dari pihak yang menyuarakan.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Menurut, mantan Wakil Ketua PP Laziznu ini, perbedaan pendapat berkaitan penundaan Pemilu lebih dikembalikan pada garis konstitusi negara, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Ketimbang, gaduh dan menyerang personal pihak yang kencang menyuarakan, Ubaidillah berpendapat, keputusan menunda Pemilu atau tidak sebaiknya dibahas di forum MPR.
Argumentasi Ubaidillah, dalam negara demokrasi perbedaan pendapat sangat diperbolehkam sejauh tidak melanggar konstitusi. Dalam sistem hukum ketatanegaraan, masalah seperti penundaan Pemilu dan penambahan masa jabatan presiden itu merupakan kewenangan MPR.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
"Saya menyayangkan jika wacana politik yang muncul seperti penundaan Pemilu, justru berimbas pada serangan personal. Saya kira tidak perlu meluapkan kemarahan berlebihan, negara ini sudah punya sistem ketatanegaraan yang pakem," demikian kata Pengasuh Ponpes Annuriyah, Kaliwining, Jember Jatim ini, Kamis (17/3).
Ia mengaku mengamati serangan personal kepada pihak yang menyuarakan penundaan Pemilu, baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan, Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan (Zulhas).
Tindakan seperti itu, kata Ubaidillah justru akan kontraproduktif terhadap sistem tatanan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia.