"Di
surat (tanggal 5) itu diinformasikan bahwa Red Notice nomor A sekian tahun 2009
atas nama Djoko Soegiarto Tjandra sudah terhapus dari sistem basis data
Interpol," tutur dia.
Sandi
berujar, kedua surat tersebut merupakan inisiasi dari divisi yang dipimpin oleh
Irjen Napoleon Bonaparte.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
Menanggapi
itu, lanjut dia, pihaknya lantas berdiskusi dan menyepakati untuk menghapus
nama Djoko Tjandra dalam ECS --yang
sudah dimasukkan sejak 2015.
"Karena
kami melihat bahwa rujukan untuk mencantumkan nama Djoko Tjandra itu merujuk
padaRed Notice, yang kemudian pada surat tanggal 5
disebutkan bahwaRed Notice[Djoko Tjandra]sudah terhapuskan
dalam sistem, sehingga tidak ada rujukan atau dasar untuk menempatkan nama
dalam sistem kami," pungkas Sandi.
Dalam
perkara ini, mantan Kadivhubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan mantan
Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo, didakwa menerima suap dari Djoko Tjandra.
Baca Juga:
Perang Melawan Narkoba: Polda Sumut Ungkap 32 Kasus dan Sita 201 Kg Sabu, 272 Kg Ganja serta 40.000 butir Ekstasi
Suap
tersebut dimaksudkan guna membantu menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar DPO
yang tercatat di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Berdasarkan
hal itu, Djoko nantinya bisa masuk ke wilayah Indonesia secara sah dan tidak
ditangkap oleh aparat penegak hukumakibat masih berstatus buronan.
Penghapusan
nama dari DPOitu terkait rencana untuk mendaftar Peninjauan Kembali (PK)
atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum DjokoTjandra dengan
pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 15
juta subsider 3 bulan kurungan atas korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.