Keadilan restoratif bisa diterapkan jaksa dengan menghentikan penuntutan jika perkara dinilai lebih layak diselesaikan di luar jalur peradilan, dengan berpedoman pada Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Ada tiga syarat prinsip keadilan restoratif bisa ditempuh yaitu pelaku baru pertama kali melakukan pidana, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun serta nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp2.500.000.
Baca Juga:
Jaksa Tuntut Lepas Guru Supriyani dari Seluruh Dakwaan Kasus Kekerasan Anak
Namun ada pengecualian jika kerugian melebihi Rp2.500.000, tapi ancaman tidak lebih dari 2 tahun, ancaman pidana lebih dari 5 tahun asal kerugian tidak melebihi Rp2.500.000 serta kepentingan korban terpenuhi dan ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun.
Adapun lima perkara yang tidak bisa dihentikan penuntutannya dalam penerapan keadilan restoratif, yaitu pertama tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, mengganggu ketertiban umum dan kesusilaan. Kedua, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimal. Ketiga, tindak pidana peredaran narkotika, lingkungan hidup dan korporasi.
Guru Besar Ahli Antropologi dan Sosiologi Hukum di Universitas Brawijaya, Prof. Nyoman Nurjaya mengatakan, pembentukan rumah restorative justice sebagai satu gagasan penggabungan atau elaborasi hukum yang hidup (living law) dengan hukum yang diberlakukan (positive law).
Baca Juga:
Jessica Wongso Disebut Jaksa Manfaatkan Film Dokumenter Tarik Simpati Publik
“Dimana pemecahan segala permasalahan hukum di masyarakat dapat dengan kearifan lokal (local genius) sebagai filterisasi perkara yang masuk ke pengadilan,” kata Nyoman dalam keterangannya, Senin (4/4).
Menurut dia, pandangan ini sesuai dengan cita-cita hukum Nasional yang berlandaskan hukum Pancasila yakni semangat musyawarah dan gotong royong dalam mewujudkan persatuan dan keadilan.
Dia menjelaskan, di beberapa negara maju, hukum seperti ini sudah lama dilaksanakan dalam rangka melibatkan korban dalam menyelesaikan masalah yang pada kenyataan yang terjadi, korban sering hanya sebatas saksi di persidangan tanpa mendapatkan hak-hak ganti rugi, rehabilitasi dan kompensasi dengan jalan damai.