Upaya keadilan restoratif juga dipertimbangkan saat menangani perkara korupsi memiliki nilai kerugian relatif kecil atau di bawah Rp50 juta. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menilai perkara korupsi di bawah Rp50 juta adalah bentuk kerugian negara yang dilakukan secara legal.
Dia mencontohkan perkara korupsi yang terjadi khususnya di wilayah Indonesia bagian timur dan daerah kepulauan. Menurut dia, proses pemeriksaan dan persidangan di daerah yang harus ditempuh melalui jalur darat, laut, dan udara sekaligus untuk menuju ibu kota provinsi memakan biaya operasional tinggi namun tak sesuai dengan kerugian negara hendak diselamatkan.
Baca Juga:
Jaksa Tuntut Lepas Guru Supriyani dari Seluruh Dakwaan Kasus Kekerasan Anak
"Penanganan perkara korupsi berskala kecil tersebut juga bukanlah capaian yang patut dibanggakan, bahkan terkadang cenderung tidak dapat diterima oleh masyarakat,” kata Burhanuddin saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi publik bertema “Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50 juta Perlu dipenjara?” yang dipantau melalui zoom meeting di Jakarta, Selasa (8/3).
Dia menyebutkan, dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan keadilan restoratif ini dimungkinkan dapat diterapkan untuk para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil.
"Setiap orang berhak mendapatkan keadilan hukum, sehingga keadilan hukum tidak dapat diberikan hanya untuk golongan tertentu saja. Hal ini tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas, jenis, dan berat ringannya suatu perkara. Dengan prinsip keadilan untuk semua dan hukum untuk manusia,” ujarnya.
Baca Juga:
Jessica Wongso Disebut Jaksa Manfaatkan Film Dokumenter Tarik Simpati Publik
Upaya Kejaksaan dengan mengedepankan keadilan restoratif dalam memutuskan suatu perkara diapreasi Komisi Kejaksaan (Komjak). Anggota Komjak Muhammad Ibnu Mazjah mengatakan, langkah ditempuh Kejaksaan ini tidak bertentangan dengan hukum. Melainkan menurut Ibnu seiringan dengan hukum secara konsepsional maupun teoritis.
"Dasarnya adalah kedudukan daripada Kejaksaan sebagai asas dominus litis artinya dia adalah sebagai pemilik perkara atau pengendali perkara," kata Ibnu saat dihubungi merdeka.com, Jumat (11/3).
Ibnu menjelaskan, Kejaksaan sebagai pemilik atau pengendara perkara memiliki kewenangan menentukan suatu kasus layak atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan. Kewenangan Jaksa itu sesuai Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.