WahanaNews.co | Kasus sumbangan Rp 2 triliun fiktif dari keluarga
mendiang Akidi Tio dinilai tak bisa dijerat hukum pidana.
Ada beberapa syarat yang dianggap tak
terpenuhi pada kasus ini untuk diproses pidana.
Baca Juga:
Kapolri Copot Kapolda Sumsel
Penilaian ini disampaikan oleh
pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea.
Pandangan serupa juga disampaikan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Bahkan, KontraS
justru menilai, letak kesalahan pada kasus ini ada
pada kelalaian Polda Sumatera Selatan.
Baca Juga:
Kasus Akidi Tio: Didesak Copot Kapolda Sumsel, Ini Respons Polri
"Tidak [tidak bisa dipidana], dia baru
berniat. Jika pun bisa, tidak perlu dipidana, karena
letak kesalahannya pada kelalaian kepolisian yang punya mandat dan kewajiban,"
kata Wakil koordinator II KontraS, Rivanlee Ananda, Kamis (5/8/2021).
Rivan menilai, kelalaian
Kapolda Sumsel, Irjen Pol Eko Indra Heri, yang menerima
sumbangan fiktif itu secara simbolis, patut disorot.
Menurut Rivan, kepolisian seharusnya
mengecek kebenaran sumbangan itu.
"Yang patut disorot adalah kelalaian
Kapolda Sumsel. Sekalipun sumbangan itu nyata, polisi juga perlu untuk
mengeceknya, mengingat jumlahnya cukup besar dan dilakukan oleh perseorangan.
Pengecekan itu sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas. Proses itu tidak
bisa tiba-tiba dihilangkan atas nama kedermawanan semata," katanya.
Ia juga mendukung tim Propam Polri
memeriksa Irjen Eko.
Dia menyebut, Propam
bisa mendalami dugaan konflik kepentingan dalam sumbangan Akidi Tio itu.
"Namun, kelalaian Kapolda Sumsel di
sisi lain juga menunjukkan adanya potensi relasi antar mereka yang membuat
Kapolda percaya begitu saja. Relasi itulah yang perlu diperdalam oleh Propam
karena bisa jadi ada conflict of interest
di sana," kata Rivan.
Komentar Hotman Paris
Sementara itu, pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea, menilai, kasus itu
seharusnya tidak bisa masuk ranah pidana.
"Kepada
ibu-ibu di rumah yang sangat tertarik dengan Rp 2 triliun di
Palembang. Apakah itu kasus atau bukan? Kasus atau candaan?" tanya Hotman, melalui akun Instagram-nya.
Menurut Hotman Paris, berita bohong yang disampaikan keluarga Akidi Tio tidak sampai
membuat keonaran.
"Sempat
digosipkan bahwa dikenakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, tapi di situ
menyebutkan barang siapa yang menyebarkan berita bohong yang menimbulkan
keonaran. Tapi keonaran yang mana?" ujarnya.
"Apakah
ibu-ibu di rumah merasakan onar? Keonaran itu kan biasanya arahnya ke
pertentangan antar golongan, agama atau ke pemerintah. Ini kan seolah-olah jadi
candaan. Jadi menurut Anda pas enggak pasal ini diterapkan?" lanjutnya.
Ia juga menilai, kasus ini tidak pas untuk dijerat dengan UU ITE.
"Kemudian
ada juga yang mengatakan kenakan Pasal 28 Ayat 2 Undang-undang ITE. Itu kan
sama juga, barangsiapa yang menimbulkan informasi pertentangan publik, SARA,
golongan, agama. Ini berita tentang Rp 2 triliun kan tidak menimbulkan
pertentangan agama, golongan. Bahkan menjadi hiburan, candaan dan informasi
terbaru bagi ibu-ibu di rumah," kata Hotman.
Ia juga mengungkapkan, Pasal 378 KUHP soal penipuan juga sulit diterapkan dalam kasus
ini.
Menurut Hotman Paris, tidak ada korban dalam kasus tersebut.
"Siapa
yang menjadi korban?" tanyanya.
Hotman Paris justru menyarankan agar
dilakukan pemeriksaan terkait adanya dugaan dana keluarga Akidi Tio yang
disimpan di Singapura.
Ia menyebut, kabar itu
yang seharusnya diusut, karena ancaman dendanya cukup besar.
"Yang
menjadi perhatian untuk Pak Dirjen Pajak, harusnya langsung menurunkan tim
memeriksa benar nggak ada uang Rp 16 triliun di Singapura? Kalau benar,
dilaporkan SPT nggak? Karena kalau nggak dilaporkan dendanya bisa 200 persen,"
ujarnya. [dhn]