“Jadi kalo mengaku cinta NU, ya otomatis 'wajib' cinta PKB. Ngaku NU tapi tidak ber-PKB, ya dipertanyakan ke-NU-annya, paling tidak seperti emas cuma 15 Karat,” kata Kiai Imam.
Alumni Pesantren Lirboyo ini lalu menceritakan kisah yang disampaikan ayahanda.
Baca Juga:
PLN LAKSANAKAN GELAR PERALATAN DAN PASUKAN PEKERJAAN KONTRUKSI JARINGAN WILAYAH KERJA PROVINSI JAMBI TAHUN 2024
“Dulu, Kiai Sanusi Gunung Puyuh Sukabumi itu secara ubudiah (prilaku ibadah) ala NU total, tetapi secara politik tidak mau memilih NU melainkan memilih Masyumi, maka lahirlah ormas PUI (Persatuan Umat Islam) yang didirikan bersama Kiai Abdul Halim Majalengka. Jadi PUI itu bukan NU, karena belum kaffah dalam ber-NU-nya,” katanya.
Padahal, menurut Kiai Imam, semestinya sadar politik adalah aspek terpenting dalam membesarkan jamaah dan jamiyyah NU, itu yang dicontohkan oleh Walisongo, khususnya Sunan Giri, Sunan Gunung Djati. Jalur politik langkah yang paling cepat dan tepat untuk dakwah lebih luas. Jadi, kesimpulannya, ngaku NU wajib ber-PKB,” katanya.
Kiai Imam berpendapat, penting rasanya untuk menyadarkan Nahdiyyin bahwa realitasnya hanya PKB alat politik NU saat ini, dan hanya PKB yang terbukti konsisten berjuang secara totalitas untuk pesantren dan NU.
Baca Juga:
Bawaslu Perintahkan KPU Tetapkan 2 Kader PKB yang Dibatalkan sebagai Calon Legislatif Terpilih
“Nahdiyyin berhutang banyak dengan PKB, bahkan saya lebih heran lagi Jika ada yang ngaku Gusdurian tapi membenci atau paling tidak antipati terhadap PKB, padahal Gus Durlah yang mendirikan PKB untuk kepentingan politik Nahdiyyin,” katanya.
Untuk itu, Kiai Imam merasa perlu menjadi motor penggerak gerakan “Ngaku NU Wajib ber-PKB”.
Gerakan ini diwujudkan dengan mencetak ribuan kaos bertuliskan jargon tersebut.