WahanaNews.co | Komisi II DPR RI menjelaskan, larangan
eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi peserta Pemilu dalam draf
revisi Undang-undang Pemilu itu, salah satunya, didasari
lantaran ideologi HTI yang dianggap bertentangan dengan konsensus dasar
berbangsa dan bernegara.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi
Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, mengatakan, empat konsensus dasar
bangsa Indonesia itu adalah Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhineka
Tunggal Ika.
Baca Juga:
Perludem: Penolak Revisi UU Pemilu Alami Amnesia Elektoral
Sedangkan, menurutnya,
HTI bertolak belakang dengan keempat konsensus tersebut.
"HTI, pengurus, dan anggotanya
bertolak belakang dengan empat konsensus dasar bangsa Indonesia, bahkan hendak
menggantinya," kata Arse, saat dihubungi wartawan, Rabu (27/1/2021).
Lebih lanjut Arse mengingatkan, pemerintah juga
telah menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang.
Baca Juga:
Revisi UU Pemilu, Perludem: KPU Cuma Membeo
Status ini sesuai Surat Keputusan
Menteri Hukum dan HAM Tahun 2017 menindaklanjuti Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas.
Zulfikar menambahkan, untuk menjadi
seorang pejabat publik, baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, termasuk
menjadi aparatur sipil negara (ASN) hingga TNI-Polri, ada
persyaratan yang harus dipenuhi.
Syarat tersebut, di antaranya, komitmen dan janji kepada empat
konsensus kebangsaan tersebut.
"Hal tersebut fundamental bagi
keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita,"
tutur dia.
Sebelumnya, draf revisi UU Pemilu yang
masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
prioritas DPR tahun 2021 mengatur larangan bagi eks anggota HTI menjadi calon
peserta Pemilihan Legislatif, Pemilihan Presiden, dan Pemilihan Kepala Daerah.
Aturan itu ditulis secara gamblang
atau tersurat seperti ketentuan bekas eks Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
dilarang berpartisipasi sebagai peserta pemilu.
Selama ini, larangan bagi eks HTI tak
pernah ditulis secara tersurat dalam UU Pemilu dan UU Pilkada. [dhn]