WahanaNews.co, Jakarta - Pahala Nainggolan, Koordinator Pelaksana Tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), mengatakan bahwa pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 2 miliar untuk proyek pembangunan satu jembatan, padahal sebenarnya biayanya cukup dengan Rp 1 miliar.
Pernyataan tersebut disampaikan Pahala sebagai contoh praktik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah, terutama dalam sektor konstruksi.
Baca Juga:
Pj Wali Kota Pekanbaru Risnandar Baru Menjabat 6 Bulan Jadi Tersangka Korupsi
“Kalau sudah yang namanya kontraktor sudah hampir enggak ada yang enggak ngasih apa-apa (ke pemerintah terkait),” kata Pahala dalam Rapat Koordinasi Nasional dan Peluncuran aplikasi e Audit di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, melansir Kompas, Jumat (7/3/2024).
Deputi Pencegahan KPK mengungkapkan bahwa dia pernah berkomunikasi dengan asosiasi penyedia jasa konstruksi.
Mereka menyatakan menetapkan margin, yaitu selisih antara biaya produksi dan harga jual, sebesar 15 persen dari nilai kontrak.
Baca Juga:
KPK Ungkap Kronologi OTT Pj Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa
Para kontraktor menjelaskan bahwa penetapan margin tersebut dianggap penting untuk pertimbangan bisnis.
Selain keuntungan pokok sebesar 15 persen, Pahala menyebutkan bahwa para kontraktor juga seringkali harus mengalokasikan sekitar 15 persen dari nilai kontrak untuk urusan suap.
Jika mereka terlibat dalam perencanaan proyek dari awal dan harus melakukan perjalanan bolak-balik ke Jakarta, mereka bahkan harus menetapkan nilai suap sebesar 20 persen dari nilai kontrak.
“Jadilah 35 persen (nilai kontrak) sudah habis itu nilai buat hahohaho (suap)-nya,” ujar Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK itu sembari berkelakar.
Di luar itu, mereka juga mengalokasikan pajak atau PPN sebesar 10 persen. Kemudian, mereka juga harus mengalokasikan fee pencairan anggaran sebesar 5 persen.
Dengan demikian, dari nilai kontrak proyek konstruksi, sebanyak 50 persen di antaranya habis untuk keuntungan perusahaan, suap, dan PPN.
Pahala lantas mencontohkan biaya pembangunan yang sebenarnya hanya membutuhkan Rp 1 miliar membengkak menjadi Rp 2 miliar.
“Kalau negara ini benar di anggaran Rp 2 miliar jembatannya jadi dua, bukan jadi satu,” tutur Pahala.
“Tapi sekarang jadi satu, makanya lelet kita ngebangunnya karena untuk bikin apa saja dua kali lipat. Kecuali kue rapat karena harganya bisa dicek,” lanjutnya.
Meski demikian, kata Pahala, saat ini terdapat kabar baik dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Sebab, kementerian yang dipimpin Basuki Hadimuljono sedang membangun database harga konstruksi. Mereka tengah mengembangkan sistem bernama Si Pasti.
Nantinya, sistem digital itu akan menetapkan harga perhitungan sendiri (HPS) dalam pengadaan barang dan jasa di sektor konstruksi.
Jika terdapat pejabat pemerintah dan vendor yang menetapkan HPS di atas standar Kementerian PUPR akan terdeteksi di sistem audit digital tersebut.
Saat ini, sistem itu sedang diterapkan Kementerian PUPR di balai-balai mereka di tingkat provinsi.
“Memang harga pasir kalau dijual ke PUPR beda apa dengan dijual ke Pemda? Ya harus sama. Itu dasar pikirannya,” tutur Pahala.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]