Setyo menjelaskan bahwa konstruksi perkara ini berawal dari tarif resmi sertifikasi K3 yang seharusnya Rp275.000, namun di lapangan pekerja harus membayar hingga Rp6.000.000 akibat praktik pemerasan.
“Fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya hingga Rp 6 juta karena adanya tindak pemerasan dengan modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses permohonan yang tidak membayar lebih,” ujar Setyo.
Baca Juga:
Raker Komisi III DPR RI dengan KPK, Hinca Sampaikan Keluhan Anak Lukas Enembe
KPK mencatat selisih pembayaran itu mencapai Rp81 miliar yang mengalir ke para tersangka.
Pada periode 2019-2024, Irvian diduga menerima Rp69 miliar melalui perantara untuk belanja, hiburan, DP rumah, hingga setoran tunai kepada Gerry, Hery, dan pihak lain.
Gerry disebut menerima Rp3 miliar sepanjang 2020-2025 melalui setoran tunai Rp2,73 miliar, transfer dari Irvian Rp317 juta, serta aliran dana Rp31,6 juta dari dua perusahaan PJK3.
Baca Juga:
Lisa Mariana Akui Terima Aliran Dana Kasus Korupsi BJB, Mengaku untuk Anak
Subhan juga disebut menerima Rp3,5 miliar sepanjang 2020-2025 dari sekitar 80 perusahaan penyedia jasa K3.
Sedangkan Anitasari menerima Rp5,5 miliar pada 2021-2024 dari pihak perantara.
KPK menegaskan uang tersebut juga mengalir ke Noel senilai Rp3 miliar serta ke Fahrurozi dan Hery masing-masing Rp1,5 miliar.