Hal serupa terjadi pada klaim operasi katarak. Dari 39 pasien yang diklaim harus menjalani operasi, hanya 14 yang benar-benar memerlukan operasi.
"Yang parah, tidak ada apa-apa. Pasiennya tidak ada, terapi tidak ada, tetapi dokumen dibuat seakan-akan layanan kesehatan itu ada. Itu yang kita sebut phantom billing. Kami hanya fokus pada dua hal: phantom billing, di mana pasiennya ada tetapi terapinya tidak ada, dan manipulasi diagnosis medis yang klaimnya berlebihan," ujar Pahala.
Baca Juga:
Soal OTT Capim KPK Johanis Tanak dan Benny Mamoto Beda Pandangan
Pahala menambahkan ada dugaan kongkalikong antara petugas, dokter hingga manajemen RS untuk melakukan phantom billing.
RS awalnya mengumpulkan KTP masyarakat melalui bakti sosial, kemudian dokter yang sudah tidak bertugas seakan memeriksa pasien dan membuat surat eligibilitas peserta BPJS.
Selain itu, turut dibuat rekam medis, resume medis, catatan perkembangan pasien terintegrasi, dan pemeriksaan penunjang palsu. RS disebut juga menyusun dan mengklaim kepada BPJS Kesehatan.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
Pahala meyakini kecurangan tersebut juga terjadi di RS lain baik milik pemerintah maupun swasta. Untuk itu, Pahala mengingatkan RS untuk menghentikan praktik lancung dan mengembalikan kerugian negara.
Pahala menyatakan KPK tidak segan memproses hukum RS yang mengabaikan peringatan.
"Sekali lagi kita imbau. Jadi, sukarela saja," kata Pahala.