WahanaNews.co | Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menemui Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, pada Rabu (2/3/2022).
Dalam pertemuan itu, Pimpinan LPSK menyampaikan salah satunya perkembangan kasus kerangkeng manusia di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Baca Juga:
Kasus Kematian Vina-Eki Cirebon: Komnas HAM Rekomendasi Polri Evaluasi Polda Jabar-Polres
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menuturkan, setidaknya ada tiga hal pokok yang disampaikan kepada Menko Polhukam.
Pertama, mempertimbangkan peristiwa yang telah berlangsung selama 10 tahun terakhir dengan banyaknya korban, serta diduga kuat melibatkan banyak pihak, hendaknya Kemenkopolhukam dapat mendorong proses penegakan hukum yang berorientasi pemenuhan hak-hak korban.
“LPSK menyampaikan informasi kepada Kemenkopolhukam, temuan kerangkeng manusia di kediaman Bupati Langkat Terbit Rencana Paranginangin pada 18 Januari 2022 ketika KPK hendak melakukan penangkapan kepada yang bersangkutan. Namun hingga saat ini belum didapat informasi tentang tindak pidana dan tersangka atas peristiwa temuan kerangkeng tersebut,” ujar Edwin.
Baca Juga:
Pemantauan Kasus Vina dan Eki Dirampungkan Komnas HAM
Terkait proses hukum yang berjalan, ia berharap Kemenkopolhukam perlu mengoordinasikan dan melakukan pemantauan, termasuk juga asistensi terhadap pihak-pihak terkait atas kepastian hukum dan pasal yang akan dikenakan.
Dengan demikian segenap pihak yang terlibat diharap dapat diminta pertanggungjawaban hukum dengan tetap mengedepankan dan mengakomodir hak-hak korban khususnya saksi dan korban serta siapapun yang memiliki informasi penting guna pengungkapan perkara.
“Perlu didalami dugaan terjadinya penganiayaan, perampasan kemerdekaan dan perdagangan orang, serta pembiaran terhadap peristiwa yang diduga telah berlangsung selama 10 tahun ini,” jelas Edwin.
Kemenkopolhukam dikatannya perlu mendorong ketegasan dan percepatan penegakan hukum dalam pengungkapan perkara agar masyarakat kembali optimistis dan berani menyampaikan kebenaran dan menuntut hak sesuai ketentuan yang berlaku. “Semua korban kerangkeng berhak atas restitusi,” ujar Edwin.
Dari investigasi LPSK mendapatkan 25 temuan, yaitu pengondisian masyarakat untuk mendukung keberadaan sel, tidak semua tahanan merupakan pecandu narkoba, tidak semua tahanan berasal dari Kabupaten Langkat, tidak ada aktivitas rehabilitasi, tempat tinggal tidak layak, pembatasan kunjungan, tidak diperbolehkannya membawa alat komunikasi, perlakuan orang dalam kerangkeng sebagai tahanan, mereka tinggal di kerangkeng dalam keadaan terkunci dan kegiatan peribadatan dibatasi.
Selain itu, tim LPSK juga menemukan para tahanan dipekerjakan tanpa upah di perusahaan sawit, ada dugaan pungutan, ada batas waktu penahanan selama 1,5 tahun, ada yang ditahan sampai dengan empat tahun, pembiaran yang terstruktur, adanya pernyataan tertulis tidak akan menuntut bila sakit atau meninggal, ada informasi dugaan korban tewas tidak wajar, dugaan adanya kereng III (sel ketiga), adanya keterlibatan anak bupati dan orang-orang dari organisasi tertentu, dan adanya keterlibatan oknum TNI.
“Setidaknya ada lima oknum TNI yang terlibat. Nama, pangkat dan kesatuan sudah ada di tangan LPSK,” ungkap Edwin.
Temuan lain, adanya tim pemburu bagi mereka yang melarikan diri, hukuman badan, dugaan adanya kekerasan seksual terhadap mereka yang ditempatkan dalam kerangkeng.
"LPSK berharap temuan dan informasi yang disampaikan para korban, tidak hanya berakhir sebagai konsumsi publik. Namun peristiwa ini seharusnya berujung kepada proses hukum untuk menindak siapa pun pelakunya dan menghadirkan keadilan bagi para korbannya, termasuk pemenuhan ganti rugi," pungkas Edwin Partogi Pasaribu. [rin]