Kemenkopolhukam dikatannya perlu mendorong ketegasan dan percepatan penegakan hukum dalam pengungkapan perkara agar masyarakat kembali optimistis dan berani menyampaikan kebenaran dan menuntut hak sesuai ketentuan yang berlaku. “Semua korban kerangkeng berhak atas restitusi,” ujar Edwin.
Dari investigasi LPSK mendapatkan 25 temuan, yaitu pengondisian masyarakat untuk mendukung keberadaan sel, tidak semua tahanan merupakan pecandu narkoba, tidak semua tahanan berasal dari Kabupaten Langkat, tidak ada aktivitas rehabilitasi, tempat tinggal tidak layak, pembatasan kunjungan, tidak diperbolehkannya membawa alat komunikasi, perlakuan orang dalam kerangkeng sebagai tahanan, mereka tinggal di kerangkeng dalam keadaan terkunci dan kegiatan peribadatan dibatasi.
Baca Juga:
Kasus Kematian Vina-Eki Cirebon: Komnas HAM Rekomendasi Polri Evaluasi Polda Jabar-Polres
Selain itu, tim LPSK juga menemukan para tahanan dipekerjakan tanpa upah di perusahaan sawit, ada dugaan pungutan, ada batas waktu penahanan selama 1,5 tahun, ada yang ditahan sampai dengan empat tahun, pembiaran yang terstruktur, adanya pernyataan tertulis tidak akan menuntut bila sakit atau meninggal, ada informasi dugaan korban tewas tidak wajar, dugaan adanya kereng III (sel ketiga), adanya keterlibatan anak bupati dan orang-orang dari organisasi tertentu, dan adanya keterlibatan oknum TNI.
“Setidaknya ada lima oknum TNI yang terlibat. Nama, pangkat dan kesatuan sudah ada di tangan LPSK,” ungkap Edwin.
Temuan lain, adanya tim pemburu bagi mereka yang melarikan diri, hukuman badan, dugaan adanya kekerasan seksual terhadap mereka yang ditempatkan dalam kerangkeng.
Baca Juga:
Pemantauan Kasus Vina dan Eki Dirampungkan Komnas HAM
"LPSK berharap temuan dan informasi yang disampaikan para korban, tidak hanya berakhir sebagai konsumsi publik. Namun peristiwa ini seharusnya berujung kepada proses hukum untuk menindak siapa pun pelakunya dan menghadirkan keadilan bagi para korbannya, termasuk pemenuhan ganti rugi," pungkas Edwin Partogi Pasaribu. [rin]