Evi berpesan kepada mahasiswa agar berperan aktif dalam mensosialisasikan cara memilih pemimpin yang baik.
“Mudah-mudahan dengan strategi yang baik, yang dilaksanakan dengan cara baik, tidak akan ada lagi praktik curang dalam pemilu, sehingga dapat menghasilkan terpilihnya pemimpin yang baik,” katanya.
Baca Juga:
Kampanyekan Salah Satu Paslon, ASN di Cianjur Ditetapkan Polisi Jadi Tersangka Pidana Pemilu
Sementara Perwakilan Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UMJ Trisno Muldani menyoroti tingginya biaya kampanye yang dilakukan oleh partai politik di Pemilu 2019 lalu, dimana tiga partai teratas ialah oleh Perindo, PSI, dan Hanura.
Mereka lebih banyak mengalokasikan biaya kampanye tersebut untuk membayar iklan di media konvensional, seperti televisi, media massa maupun baliho.
“Padahal dari sisi perolehan suara justru berbanding terbalik. Justru partai yang belanja iklan politik itu mendapatkan suara sedikit, dan partai yang sudah mapanlah yang memperoleh suara yang tinggi di DPR,” ujar Trisno.
Baca Juga:
Soal Hasil Pilpres 2024: PTUN Jakarta Tak Terima Gugatan PDIP, Ini Alasannya
Trisno melanjutkan, saat ini seharusnya media digital lebih dipilih sebagai instrumen pemasaran dan kampanye politik.
Karena ada empat kelebihan di dalamnya, yakni dari sisi target pasar, biaya, waktu, dan komunikasi, media digital jauh lebih unggul dibanding media konvensional.
“Sehingga, anggaran kampanye yang tinggi, bisa dialokasikan untuk hal yang lebih krusial misalnya pendidikan politik untuk masyarakat, agar meningkatkan jumlah pemilih rasional,” tuturnya.