Menurut Boyamin, biaya penunjang operasional Gubernur Dan Wakil Gubernur Banten diduga telah dicairkan dan dipergunakan secara maksimal untuk jumlah pencairannya.
Namun, lanjut dia, diduga tidak dibuat SPJ yang kredibel sesuai peraturan perundangan sehingga berpotensi digunakan untuk memperkaya diri atau orang lain.
Baca Juga:
Momen Mengharukan di Banten, Siswi SD Pilih Bawa Pulang Makanan Bergizi untuk Ibu di Rumah
"Sehingga diduga melawan hukum dan diduga merugikan keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 2 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001: Ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara," kata Boyamin.
Ia mengatakan, patut diduga biaya penunjang operasional tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan dianggap sebagai honor (take home pay) dan dan tidak dipertanggungjawabkan dengan SPJ yang sah dan lengkap.
Tindakan itu dikategorikan sebagai dugaan tindak pidana korupsi dengan kerugian negara sebesar kurang lebih Rp 40 miliar atau dapat lebih kurang atau lebih besar dari jumlah tersebut sepanjang terdapat SPJ yang kredibel.
Baca Juga:
Demi Rafathar, Raffi Ahmad Terbang Pakai Helikopter untuk Hadiri Acara Sekolah
Menurutnya, terduga terlapor dalam laporan tersebut adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) dan bendahara pencairan dana penunjang operasional gubernur dan wakil Gubernur Banten tahun 2017 sampai 2021 pada Pemprov Banten.
"Jika pencairan tahun 2017 diduga tidak ada LPJ kredibel, maka semestinya PPK dan bendahara tidak melakukan pencairan dana penunjang operasional tahun 2018 sampai 2021," kata Boyamin.
Namun demikian, kata Boyamin, MAKI tetap menjunjung asas praduga tidak bersalah, dan laporan aduan tersebut hanyalah sebagai bahan proses lebih lanjut oleh Kejati Banten untuk menentukan ada tidaknya dugaan penyimpangan dalam perkara tersebut.