PBNU menampung berbagai
usulan tersebut. Namun, seperti yang tertulis dalam website resmi PKB, PBNU
harus sangat berhati-hati karena secara organisatoris NU tidak terkait dengan
partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis, sesuai
keputusan Muktamar 1984.
Sikap PBNU membuat
warga nahdiyin kurang puas. Usulan agar segera dibentuk partai politik untuk
umat NU justru semakin kencang. Bahkan, sejumlah partai politik berbasis massa
NU sudah dideklarasikan, seperti Partai Bintang Sembilan di Purwokerto dan
Partai Kebangkitan Umat di Cirebon.
Baca Juga:
Panglima TNI Dampingi Wakil Presiden RI Buka Konferensi Besar Fatayat NU 2024
Dikutip dari Relasi
Islam, Politik dan Kekuasaan (2013) karya Abdul Halim, PBNU akhirnya
mengadakan rapat pada 3 Juni 1998 untuk memenuhi aspirasi nahdiyin. Hasilnya,
terbentuklah Tim Lima yang terdiri dari K.H. Ma"ruf Amin sebagai ketua, dengan
anggota K.H. M. Dawam Anwar, K.H. Said Aqil Siradj, H.M. Rozy Munir, dan Ahmad
Bagdja.
Dalam rapat
selanjutnya, dibentuk Tim Asistensi yang bertugas membantu Tim Lima dalam
menginventarisasi dan merangkum usulan pembentukan partai politik baru, sesuai
aspirasi nahdiyin, yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU. Muhaimin
Iskandar alias Cak Imin menjadi salah satu anggota Tim Asistensi ini.
Akhirnya, pada 23 Juni
1998, terbentuklah partai politik yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa
untuk menampung aspirasi warga NU pada khususnya, dan umat Islam serta rakyat
Indonesia pada umumnya. Deklarasi dilakukan di kediaman Ketua Umum PBNU, Gus
Dur.
Baca Juga:
Mendikdasmen Umumkan Mulai 2025 Guru PPPK Bisa Mengajar di Sekolah Swasta
Selain Gus Dur,
beberapa tokoh NU yang turut mendeklarasikan berdirinya PKB di antaranya K.H.
Ilyas Ruhiat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa Bisri, serta K.H. Muchith Muzadi.
Matori Abdul Djalil terpilih sebagai Ketua Umum PKB pertama.
Ketika terpilih sebagai
ketua umum, Matori adalah politikus kawakan NU. Orang Salatiga kelahiran 11
Juli 1942 itu sudah malang melintang sejak muda dalam panggung politik. Sebagai
pelajar dan mahasiswa, ia aktif di badan-badan otonom NU seperti Ansor, IPNU,
dan PMII. Di akhir 1960-an ketika NU masih berbentuk partai, Matori, yang baru
saja lulus dari kuliah, sudah tergabung sebagai pengurus di kota kelahirannya.
Karier politiknya
kemudian makin menanjak. Kala Partai NU dilebur ke dalam PPP, Matori turut bergabung
dalam partai baru tersebut. Ia merangkak dari bawah sebagai anggota DPRD
kabupaten, DPRD provinsi, hingga DPR. Pada 1989, Matori akhirnya terpilih
sebagai Wakil Ketua Umum PPP mendampingi Ismail Hassan Metareum.