Oleh ANDREAS ENO TIRTAKUSUMA
Baca Juga:
Anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan: Pastikan Keadilan Terdeliver
ADA
dua artikel menarik yang dimuat harian Kompas.
Pertama ditulis
dengan judul Dilema Kekuasaan Kehakiman (Kompas, 19/7/2021), kedua
berjudul Independensi atau Anomali Yudisial (Kompas, 4/8/2021).
Baca Juga:
Kode Etik Majelis Hakim Kasasi Ronald Tannur Tetap DIoeriksa KY
Kedua artikel
menyoal praktik diskon putusan, khususnya dalam kasus-kasus korupsi, bahkan
artikel kedua juga merinci kasus korupsi apa saja yang didiskon dan berapa
diskon hukumannya.
Hanya saja
artikel pertama lebih membahas adanya independensi hakim, sebagai kekuasaan
yang sakral berbanding hakim sebagai manusia yang hidupnya dipengaruhi banyak
kepentingan, keinginan, dan lingkungan sekitarnya (hakim tidak imun dan hidup
di ruang hampa).
Fenomena ini
membawa pada misteri apakah hakim (sang pengadil) benar-benar mengambil putusan
sebagai orang yang suci atau dipengaruhi oleh kepentingan yang melekat pada
hidupnya.
Pelanggaran
etika hakim yang ditemukan tidak akan menyebabkan putusannya dapat dirubah
sehingga diskon hukuman dalam putusannya tetap dapat dinikmati terdakwa.
Pada artikel
kedua, penulis mengamini Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan menilai
apalagi mengoreksi putusan hakim.
Diskon hukuman
sering diberikan oleh hakim agung, yang adalah centre of excellence dan core of the core dari
dunia
pengadilan tetapi kualitas putusannya berbanding terbalik dengan logika hukum
dan rasa keadilan masyarakat serta teori hukum dan keadilan.
Disinggung
fungsi Komisi Yudisial sebagai penjaga marwah, martabat dan kehormatan hakim
agar dapat dioptimalkan perannya dalam menyeleksi hakim agung.
Kebetulan
saat ini Komisi Yudisial sedang menyeleksi calon hakim agung.
Tetapi
menghasilkan hakim agung yang kompeten, profesional, berintegritas, dan
bermoral yang bertanggung jawab kepada dirinya, agamanya, bangsanya, dan
Tuhannya bukan hanya ada pada pundak Komisi Yudisial.
Ada cerita
tentang hakim yang memulai karir dengan penuh idealisme, tetapi idealismenya
rontok karena tercemar perbuatan koruptif setelah lama bertugas.
Hasil seleksi
calon hakim yang ketat sekali pun belum tentu dapat menjamin kualitas hakim.
Hakim
dituntut menghasilkan putusan yang berkualitas.
Putusan hakim
ibarat mahkotanya.
Putusan
berkualitas akan memuliakan profesi hakim.
Untuk
mewujudkan kualitas hakim dalam putusannya, setidaknya perlu adanya pemahaman
yang sama dan niat bersama dengan penegak hukum lainnya untuk mewujudkan
keadilan yang seadil-adilnya, selain perlu juga dibina kemampuan dan tanggung
jawab hakim dalam menerapkan hukum.
Dalam perkara
pidana, putusan hakim didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang
terbukti dalam persidangan (Pasal 182 KUHAP).
Surat dakwaan
adalah produk yang dibuat penuntut umum sebagai tindak lanjut hasil penyidikan.
Apabila dalam
dakwaan hanya menguraikan perbuatan suap, karena dari tahap penyidikan hanya
disangkakan dengan pasal suap (yang hanya dapat dipidana badan dan denda),
membuat hakim tidak dapat memutusnya sebagai perbuatan korupsi kerugian
keuangan negara (yang dapat dipidana mati apabila perbuatan dilakukan dalam
keadaan tertentu), sekalipun masyarakat ramai menghendakinya.
Di sisi lain,
hakim lazim menginterpretasi apakah unsur perbuatan menurut pasal yang
didakwakan telah terpenuhi dari perbuatan terdakwa.
Hakim memang
harus berdasar pada tekstual ketentuan undang-undang dan menjadikannya sebagai
titik tolak untuk mengadili, tetapi tidak sebagai titik akhir.
Hakim perlu
memberikan arti tekstual suatu ketentuan undang-undang dalam putusannya, yang
dilakukan dengan cara menginterpretasikannya.
Interpretasi
Praktiknya,
ada berbagai metode interpretasi (gramatikal, historikal, sistematikal,
teleologikal ,dan sosiologikal, perbandingan hukum/komparatif dan futuristis).
Persoalannya,
beda metode akan beda pula tafsiran yang dihasilkan.
Padahal tidak
ada aturan yang menentukan metode mana yang harus digunakan oleh hakim dalam
peristiwa konkret tertentu.
Tidak ada
pula ketentuan yang mengatur urutan hirarkikal metode-metode tersebut.
Pembentuk
undang-undang pun tidak memprioritaskan metode tertentu sehingga terbuka
kemungkinan hakim akan memilih metode berdasarkan apa yang paling meyakinkan
menurut dirinya sendiri, yang belum tentu dirasa cocok oleh praktisi hukum lain
atau pun pencari keadilan.
Kemungkinan
ini dapat menyebabkan mengapa putusan-putusan pengadilan rentan dianggap
inkonsisten, kontroversial, dan memancing reaksi yang berbeda-beda dari
masyarakat.
Kebebasan
hakim memilih metode interpretasi menjadi salah satu wujud independensi
yudisial.
Sepakat
dengan pendapat bahwa independensi tanpa tanggung jawab adalah tirani dan
kezaliman yang nyata.
Independensi
dan akuntabilitas yudisial harus dijalankan bersamaan karena keduanya ibarat
dua sisi dari koin yang sama, yang tidak mungkin dipisahkan.
Pelaksanaan
pertanggungjawaban hakim dapat dilakukan dalam bentuk kewajiban motivering.
Dalam putusan, motivering ada pada bagian pertimbangan hukum.
Dari
pertimbangan hukum tersebut dapat diketahui motivasi yang melatarbelakangi amar
putusan.
Kewajiban ini
sudah diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Sedemikian
pentingnya sehingga Mahkamah Agung menyebut tidak diberikannya pertimbangan
hukum yang memuat alasan-alasan putusan pengadilan dipandang sebagai suatu
kelalaian dalam acara (vormverzuim),
ditegaskan dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1974.
Menurut
Pontier, kewajiban motivering berkaitan dengan
transparansi sehingga putusan menjadi terbuka untuk pengawasan, harus
meyakinkan dan memberikan prespektif bagi akseptasi (penerimaan, aanvaardbaar-heid) putusan tersebut.
Motivering juga berfungsi
untuk yustifikasi (pembenaran, rechtsvaardiging) putusan terhadap para
pihak berperkara, terhadap "forum hukum" (forum iuridica) dan terhadap
masyarakat.
Putusan yang
bermutu pasti tidak akan terlepas dari praktik motivering.
Masyarakat cenderung menilai putusan hakim hanya dari amar.
Yang dilihat
hanyalah diskon hukuman, tetapi alasan-alasan hakim untuk sampai pada amar
demikian luput dari sorotan.
Menilai
putusan hakim semata-mata dari amarnya ibarat menilai buku dari sampulnya saja.
Perlu ada
edukasi bersama tentang praktik motivering dalam setiap
putusan hakim.
Edukasi
masyarakat akan mengarahkan bagian mana dari putusan yang harus diteliti dalam
mengkritisi kualitas putusan.
Demikian juga
dunia pendidikan hukum berperan dalam pengajaran, pelatihan dan diskusi tentang
praktik motivering.
Bila kelak
mahasiswanya menjadi hakim, akan sudah mahir sehingga putusannya benar-benar
berkualitas selaras dengan logika hukum dan rasa keadilan masyarakat serta
teori hukum dan keadilan.
Dari uraian
ini, semua pemangku kepentingan dalam dunia peradilan memiliki peranan dan
masing-masing bertanggung jawab menjaga marwah, martabat dan kehormatan hakim.
Hal ini tidak
semata-mata menjadi fungsi Komisi Yudisial.
Dengan saling membahu satu sama lain di
antara pemangku kepentingan, impian masyarakat akan peradilan agung pasti dapat
terwujud. (Andreas Eno
Tirtakusuma, Dosen Tetap Program Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Pancasila)-dhn
Tulisan ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Mengawal Kualitas Hakim". Link untuk baca:
www.kompas.id/baca/opini/2021/08/16/mengawal-kualitas-hakim/.