WAHANANEWS.CO, Jakarta - Sejumlah anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menggugat UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Mereka meminta masa jabatan BPKN menjadi 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Permohonan itu disampaikan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (17/12/2025). Perkara tersebut bernomor 234/PUU-XXIII/2025 dengan pemohon Mufti Mubarok, Syaiful Ahmar, Ganef Judawati, Haris Munandar Nurhasan, dan kawan-kawan, yang merupakan anggota BPKN.
Baca Juga:
BPKN RI Soroti Keamanan Data Pengunjung: Kewajiban Serahkan KTP Tak Sesuai UU PDP
Para pemohon menilai Pasal 35 ayat 3 UU Perlindungan Konsumen yang menetapkan masa jabatan ketua dan anggota BPKN selama tiga tahun mengandung cacat konstitusional. Menurut dia, hal itu telah menciptakan diskriminasi struktural dalam kelembagaan negara.
Pemohon menyatakan lembaga-lembaga negara memiliki pengaturan masa jabatan yang jelas. Antara lain, KPK masa jabatan lima tahun, Ombudsman masa jabatan lima tahun, Komisi Yudisial masa jabatan lima tahun, Komnas HAM masa jabatan lima tahun, OJK masa jabatan lima tahun, Lembaga Penjamin Simpanan masa jabatan lima tahun.
"Sementara BPKN lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dengan masa jabatan tiga tahun jelas-jelas berada dalam posisi yang didiskriminasi tanpa dasar pembenaran yang jelas," ujar pemohon.
Baca Juga:
Sejumlah Gakta Gebrakan Gubernur KDM yang Bikin AQUA ‘Meradang’
"Fakta ini menunjukkan bahwa BPKN termasuk dalam kategori minoritas yang mengalami perlakuan berbeda tanpa justifikasi yang memadai," sambungnya.
Pemohon menilai masa jabatan tiga tahun tidak memenuhi prinsip-prinsip teoretis. Hal itu, lantaran tak memberikan waktu cukup untuk implementasi program yang komprehensif.
"Sementara justru menciptakan rotasi yang terlalu sering yang mengganggu kontinuitas kelembagaan," ujarnya.
Pemohon menilai Pasal 35 ayat 3 UU Perlindungan Konsumen telah bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon meminta agar masa jabatan BPKN diubah menjadi lima tahun.
"Menyatakan pada Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821) yang menyatakan, 'Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkar kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya'," tutur pemohon.
Dalam Permohonan 234/PUU-XXIII/2025, para Pemohon berpendapat terdapat diskriminasi struktural akibat masa jabatan anggota BPKN yang hanya tiga tahun, sementara lembaga negara independen lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Ombudsman RI, Komnas HAM, dan Otoritas Jasa Keuangan memiliki masa jabatan lima tahun. Perbedaan tersebut dinilai tidak rasional dan berdampak negatif baik secara kelembagaan maupun terhadap kepastian karier anggota BPKN.
Menurut Pemohon, masa jabatan yang singkat berpotensi mengganggu kesinambungan program, menghilangkan memori institusi, serta menimbulkan ketidakstabilan organisasi. Kondisi tersebut dinilai dapat menurunkan efektivitas perlindungan konsumen secara nasional.
Dalam petitum provisi, pemohon meminta MK menetapkan perkara ini sebagai prioritas pemeriksaan serta memerintahkan penundaan seluruh proses seleksi anggota BPKN hingga putusan dibacakan. Sementara dalam pokok permohonan, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 35 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen bertentangan dengan UUD 1945 dan menafsirkan masa jabatan anggota BPKN menjadi lima tahun serta dapat diperpanjang satu kali masa jabatan.
Sementara itu, dalam Permohonan Nomor 235/PUU-XXIII/2025, para pemohon menguji sejumlah pasal, antara lain Pasal 30 ayat (1), Pasal 31, Pasal 34 ayat (1), dan Pasal 39 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen. Para pemohon menilai ketentuan tersebut tidak memberikan kewenangan pengawasan yang jelas kepada BPKN, sehingga menempatkan BPKN seolah setara dengan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Pemohon mendalilkan kondisi tersebut menimbulkan kebingungan kewenangan (authority confusion) karena BPKN tidak memiliki pengawasan yang bersifat asertif. Akibatnya, fungsi pengawasan strategis tidak dapat dijalankan secara efektif dan berpotensi melanggar prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Para pemohon juga menilai ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, tumpang tindih kewenangan, serta melemahkan efektivitas perlindungan konsumen. Oleh karena itu, pemohon meminta MK menafsirkan ulang sejumlah ketentuan UU Perlindungan Konsumen secara bersyarat agar sejalan dengan UUD 1945 serta mempertegas kedudukan BPKN sebagai lembaga independen yang memiliki kewenangan pengawasan, struktur kelembagaan yang jelas, serta jaminan kemandirian organisasi dan anggaran.
[Redaktur: Alpredo Gultom]