WahanaNews.co | Kongres
Luar Biasa Partai Demokrat di Deli Serdang yang menjadikan Moeldoko sebagai Ketua
Umum Partai Demokrat, disoroti pengamat dan peneliti LIPI Profesor Siti Zuhro.
Menurut Siti, publik sudah bisa menilai bahwa yang dilakukan
Moeldoko tidak benar. Kepala Staf Kepresidenan itu dinilai menerabas sejumlah
hal hingga tiba-tiba menjadi ketua umum.
Baca Juga:
Anggota DPD RI Komeng, Sebut Prabowo Betul-betul Ingin Menyatukan Semua Pihak
"Dia mau di-ketum-kan itu bagaimana ceritanya kan,
kader bukan, KLB tidak ikuti aturan main AD/ART dan sebagainya. Jadi enggak
logis saja," kata Siti dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya bertajuk 'Nanti
Kita Cerita Demokrat Hari Ini', Sabtu (6/3).
"Kalau ini kan bahasa politiknya kalau kita lihat dari
bahasa politiknya ini intervensi dengan bahasa yang lebih lugas lagi itu
mengudeta. Lepas dari ini hukum karma dan sebagainya," imbuhnya.
Ia berpandangan kisruh Partai Demokrat yang sekarang terjadi
itu karena adanya pembiaran aspirasi yang menimbulkan keinginan melaksanakan
KLB sebagai bentuk akumulasi ekspresi yang ada. Selain itu, kata dia, kekisruhan
juga dapat terjadi karena pemilihan caketum di parpol yang seringkali melalui
proses aklamasi.
Baca Juga:
Survei: Mayoritas Konsumen Indonesia Pilih Merek Berdasarkan Sikap Politik
"Sebetulnya itu tidak masalah seandainya itu muncul
dari internal sendiri dari Demokrat bahwa mereka tidak sepakat dengan cara-cara
dinasti politik seperti itu, lalu muncul keinginan untuk adanya kompetisi yang
setara juga," kata dia.
Menurut Siti, sisi negatif dari dunia politik di Indonesia
saat ini ialah kecenderungan untuk mengerucutkan calon menjadi tunggal. Hal
tersebut pun terjadi di Partai Demokrat.
"Karena kan ini munculnya AHY sebagai milenial tidak
tertutup kemungkinan menimbulkan animo yang luas lah. Kejelekan kita, negatif
kita adalah kompetisi itu maunya dikerucutkan ke tunggal, aklamasi itu
masalahnya," kata Siti.
"Itu menurut saya, serius sekali ini menunjukkan bahwa
sebetulnya kontestasi politisi sudah kita kunci. Jadi ini artinya sudah alarm
demokrasi is dead," sambungnya
Dia pun khawatir sistem calon tunggal dan aklamasi juga akan
terjadi dalam proses pemilu 2024. Padahal, kata dia, pihaknya berharap
kontestasi berjalan sehat dengan mengadu kualitas kandidat.
"Ini yang dikerucutkan saja nanti 2024 itu tidak perlu
ada kompetisi, kontestasi apalagi dengan orang-orang yang dianggap setara.
Padahal kita ilmuwan harap kompetisi asyik kalau setara, jadi selisih berapa
digit karena kualitas yang dikontestasikan," ujarnya. [qnt]