SK mengatakan perdamaian terjadi setelah kuasa hukum korban meminta penyidik untuk mediasi segera.
"Sebenarnya menimbulkan pertanyaan bagi kami, kenapa pihak mereka yang melapor, namun mereka juga yang terkesan memaksa dimediasi, seakan memang inginkan sesuatu," bebernya.
Baca Juga:
Kinerja Hukum Indonesia dalam Penanganan Kasus KBGO
Lebih jauh SK menuturkan, perdamaian dilakukan bukan karena mengakui kekalahan ataupun kesalahan yang dilakukan suaminya, tapi oleh karena pertimbangan lain.
"Keputusan perdamaian ini diambil atas kemanusiaan, bukan mengakui kesalahan atas perbuatan suami saya," ungkap dia.
"Selain itu kami tidak ingin berkepanjangan, toh dampak dari perkara ini, suami saya dinonaktifkan dari RS BJ. Faktor lain, menimbang korban dalam kondisi hamil dan sebentar lagi akan melakukan persalinan," sambungnya.
Baca Juga:
Kasus Persetubuhan Anak di Parimo, Kompolnas Dorong Penyidik Terapkan UU TPKS
Saat penandatangan surat perdamaian itu, hadir suami ATF, ibu mertua ATF dan kuasa hukum dokter MY.
"Kesepakatan itu dibuat tanpa menghadirkan ATF secara langsung. Namun, ketika surat perdamaian itu dibawa ke dalam mobil, ternyata sudah tertera tanda tangan ATF. Menurut Febri, korban berada di dalam mobil, tidak mau keluar. Di situ, lagi-lagi membuat kami penasaran," katanya.
SK berharap, perkara yang menimpa suaminya dapat segera terselesaikan.