WahanaNews.co, Jakarta - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengungkapkan bahwa kepolisian perlu memiliki pemahaman yang jelas antara tindakan bullying dan ragging dalam kasus Arlo Febrian, yang menjadi korban dari Geng Tai yang menyeret anak artis Vincent Rompies.
Reza menekankan bahwa kekerasan antar siswa tidak selalu dapat diidentifikasi sebagai bullying secara mutlak.
Baca Juga:
Masuk Akpol, Pakar Sarankan Anak Ferdy Sambo Bayar Jasa Kak Seto
Oleh karena itu, pihak kepolisian perlu memerhatikan secara spesifik dan membedakan mana yang termasuk bullying dan mana yang termasuk ragging, sebuah istilah yang mungkin kurang dikenal oleh masyarakat dan lembaga negara.
Meskipun istilah ragging belum memiliki padanan langsung dalam bahasa Indonesia, Reza menyatakan bahwa baik bullying maupun ragging adalah bentuk kekerasan dan perilaku yang tidak pantas.
Ragging dijelaskan sebagai tindakan di mana seseorang dengan sengaja mendekati sebuah kelompok yang dikenal urakan untuk dapat bergabung, dengan pemahaman bahwa anggota baru akan mengalami perlakuan yang tidak senonoh dan berbagai bentuk kekerasan.
Baca Juga:
Reza Indragiri Tegaskan Persetubuhan Anak di Parigi Moutong adalah Perkosaan
Lantas, kata dia, bergabunglah anak atau seseorang tadi ke dalam geng tersebut dan menjalani ritual atau seremoni kekerasan yang memang merupakan identitas atau budaya geng itu.
"Kalau kronologinya sedemikian rupa, maka kekerasan yang menimpa anak tersebut tidak bisa serta-merta dikategori sebagai bullying. Itu ragging," papar Reza, melansir Antara, Senin (26/2/2024).
Dalam bullying, lanjut dia, dikotomi pelaku dan korban sangat jelas. Sedangkan dalam ragging, relasi antar anak atau seseorang tadi tidak lagi hitam putih. Apalagi jika si anggota baru bertahan dalam geng tersebut, maka ia pun sesungguhnya bukan korban.
"Mindset-nya adalah ia secara sengaja melalui "masa belajar" untuk kelak menjadi pelaku kekerasan pula," ujarnya.
Bahkan betapa pun si anggota baru babak belur, tetap saja anak atau seseorang tadi awalnya bukan korban bullying.
Kecuali andai saat dipukuli si anggota baru itu merasa sakit, tak sanggup bertahan, ingin berhenti, apalagi jika ia minta agar tak lagi digebuki, namun anggota-anggota lama terus menghujaninya dengan pukulan, maka pada saat itulah ragging berubah menjadi penganiayaan.
Reza menambahkan, baik bullying maupun ragging, keduanya memang harus disetop.
Namun dengan mengidentifikasi secara akurat apakah kejadian yang polisi tangani sesungguhnya merupakan bullying atau ragging, proses penegakan hukum akan berjalan tepat sasaran.
"Demikian pun masyarakat akan bisa menakar sebesar apa simpati perlu diberikan," kata Reza.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]