WAHANANEWS.CO, Palembang - Sidang lanjutan perkara penembakan berdarah yang menewaskan tiga anggota polisi di Way Kanan, Lampung, kembali menyita perhatian publik.
Di Pengadilan Militer I-04 Palembang, Senin (16/6/2025), Pembantu Letnan Dua (Peltu) Yun Heri Lubis memberikan kesaksian mengejutkan tentang praktik perjudian dan relasi dengan aparat.
Baca Juga:
Kasus Sabung Ayam: Tak Digubris, Aipda Petrus yang Sudah Memohon Malah Ditembak Matanya
Dihadapkan ke majelis hakim, Peltu Lubis mengungkap bahwa ide membuka judi sabung ayam dan koprok berasal dari terdakwa utama Kopda Basarsyah.
“Yang punya ide duluan Kopda Basarsyah, komandan. Dia bilangnya ‘bang kita buka gelanggang’. Saya setuju ‘ayo’ terus kami buka gelanggang sabung ayam dan koprok,” ujarnya.
Menurut Lubis, mereka sempat berpindah-pindah lokasi karena warga merasa terganggu. Namun akhirnya kembali lagi ke Umbul Naga, Desa Karang Manik. Ketika hakim bertanya mengapa kembali ke lokasi tersebut, Lubis menjawab, “Karena yang punya lahan mengizinkan, komandan.”
Baca Juga:
Oknum TNI Tembak Mati Tiga Polisi, Danrem Kumpulkan 3.000 Prajurit untuk Instruksi Tegas
Yang membuat hakim semakin terkejut adalah ketika Lubis menjelaskan pembagian keuntungan.
Ia mengaku hanya mendapat bagian dari judi koprok sebesar Rp 300 ribu jika sepi, dan bisa mencapai Rp 1 juta saat ramai.
Sementara dari sabung ayam, dia hanya sesekali meminta bagian dari Basarsyah sebesar Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu.
Hakim sempat mempertanyakan bagaimana mungkin seorang komandan tidak mendapat bagian tetap dari sabung ayam.
Namun Lubis menjawab, “Siap, pembagiannya koprok kalau ada yang datang lalu pasang tempat. Kalau sepi saya dapat Rp 300 ribu, kalau ramai Rp 1 juta. Itu setiap sekali buka, komandan, sampai selesai.”
Tak hanya soal keuntungan, Lubis juga membongkar bahwa setiap kali hendak menyelenggarakan judi, dia selalu berkoordinasi dengan Kapolsek Negara Batin.
“Saya koordinasi ke Kapolsek setiap mau ada kegiatan saja, komandan, lewat telepon,” katanya.
Ia bahkan memeragakan dialog dengan Kapolsek AKP Anumerta Lusiyanto, “Pak Kapolsek saudaraku, kami izin buka.” Dan dijawab, “Silakan saja yang penting jangan ada keributan.”
Setiap Senin dan Kamis, Peltu Lubis mengaku menyerahkan uang Rp 1 juta kepada Kapolsek sebagai bentuk “menghargai”.
“Jatah menghargai Kapolsek biasanya kasih Rp 1 juta, tapi yang terakhir sebelum penggerebekan saya janjikan Rp 2 juta. ‘Jatah abang besok Rp 2 juta,’ saya bilang, karena mau lebaran komandan,” ucapnya.
Namun pada hari penggerebekan 17 Maret 2025, ia gagal menyerahkan uang itu karena Kapolsek tidak berada di tempat.
“Saya telpon-telpon Kapolsek tidak angkat, di Polsek juga tidak ada orang. Jadi uangnya masih di Basarsyah pada waktu itu,” jelasnya.
Tak berhenti di situ, Lubis juga menyebut bahwa oknum aparat lain turut menikmati ‘jatah’ dari aktivitas judi.
Mulai dari anggota Polsek hingga Brimob, semuanya mendapat uang dan jamuan.
“Anggota yang datang itu ya hanya makan dan merokok di warung, nanti yang bayarnya Basarsyah, komandan. Terus kalau pulang dikasih uang Rp 100 ribu satu orang. Makanya saya kaget kok bisa digerebek,” katanya polos.
Dalam kasus ini, Kopda Basarsyah dan Peltu Lubis disidang secara terpisah di Pengadilan Militer I-04 Palembang.
Kedua terdakwa tiba di pengadilan mengenakan pakaian tahanan warna kuning dan dikawal ketat oleh aparat.
Kopda Basarsyah didakwa berat atas kasus penembakan yang menyebabkan kematian Kapolsek Negara Batin Iptu Lusiyanto, Bripka Petrus Apriyanto, dan Bripda M Ghalib Surya Ganta.
Ia terancam hukuman penjara lebih dari 15 tahun hingga hukuman mati.
Ketika ditanya oleh Ketua Majelis Hakim Kolonel CHK Fredy Ferdian Isnartanto apakah memiliki kuasa hukum, Basarsyah menjawab, “Ada, yang mulia.”
Oditur Militer pun membacakan dakwaan terhadapnya, termasuk Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan UU Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951 terkait kepemilikan senjata api ilegal.
Keluarga para korban hadir menyaksikan langsung jalannya sidang terbuka, mencatat setiap detail dakwaan yang disampaikan oleh oditur.
Kasus ini menjadi sorotan karena membuka praktik gelap yang melibatkan aparat militer dan kepolisian dalam kegiatan ilegal, dan pengadilan militer kini menjadi panggung bagi pengungkapan fakta-fakta mengejutkan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]