WAHANANEWS.CO, Jakarta - Putusan baru Mahkamah Konstitusi (MK) membawa perubahan besar terhadap jadwal pemilu di Indonesia. Dalam keputusan yang bersifat mengikat itu, MK menetapkan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah akan dilakukan secara terpisah.
Pemilu nasional tetap digelar pada 2029, sementara pemilu daerah baru bisa dilaksanakan paling cepat dua tahun kemudian, yaitu 2031.
Baca Juga:
UU Pemilu dan Pilkada Diubah, MK Pisahkan Jadwal Pemilu Pusat dan Daerah
Ketentuan tersebut merupakan implikasi dari Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menegaskan perlunya pemisahan waktu antara pemilu di tingkat nasional dan lokal.
Artinya, pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan legislatif untuk DPRD provinsi serta kabupaten/kota tidak lagi digelar serentak dengan pemilihan presiden, DPR, dan DPD.
MK menyebut pemilu 2029 adalah masa transisi penting, terutama bagi kepala daerah hasil pilkada 27 November 2024 dan anggota DPRD yang terpilih pada Pemilu 14 Februari 2024.
Baca Juga:
Sisa Dana Hibah Pilkada 2024, KPU Taput Serahkan Rp6,266 Miliar ke Pemkab
Untuk itu, MK menyerahkan perumusan norma transisi tersebut kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.
"Dengan melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, termasuk masa jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sesuai dengan prinsip perumusan norma peralihan atau transisional," bunyi pertimbangan hukum MK pada halaman 143.
MK juga menegaskan bahwa pemilu lokal hanya bisa diselenggarakan setelah seluruh tahapan pemilu nasional dinyatakan selesai. Penghitungan jeda waktu dimulai sejak pelantikan presiden/wakil presiden dan anggota DPR serta DPD.
Dari sana, pemilu lokal digelar paling cepat dua tahun atau paling lambat dua tahun enam bulan setelahnya.
Alasan utama pemisahan ini, menurut MK, adalah demi efektivitas penyelenggaraan dan memperkuat kelembagaan partai politik.
MK menilai jadwal pemilu yang berdekatan selama ini justru menimbulkan banyak masalah, termasuk kejenuhan pemilih dan beban teknis di tempat pemungutan suara yang terlalu berat akibat banyaknya surat suara.
Di sisi lain, pemisahan pemilu juga memberikan waktu yang lebih memadai bagi partai politik menyiapkan kader untuk setiap level kompetisi.
Menanggapi putusan ini, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan bahwa keputusan MK akan menjadi pertimbangan penting dalam revisi Undang-Undang Pemilu yang akan datang.
Ia menyebut jeda waktu antara pemilu nasional 2029 dan pemilu lokal 2031 akan membutuhkan norma peralihan yang jelas, khususnya terkait masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD.
"Jeda waktu 2029–2031 untuk DPRD provinsi, kabupaten, kota termasuk untuk jabatan gubernur, bupati, wali kota itu kan harus ada norma transisi," ujar Rifqinizamy di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, penunjukan pelaksana tugas atau pejabat sementara bisa menjadi solusi bagi jabatan eksekutif daerah.
Namun, untuk legislatif seperti DPRD, perpanjangan masa jabatan dinilai sebagai satu-satunya opsi realistis.
Hal-hal teknis tersebut, katanya, akan menjadi bagian dari dinamika pembahasan RUU Pemilu yang kini menunggu arahan resmi dari pimpinan DPR RI.
Dengan demikian, pemilu ke depan akan memiliki format berbeda. Pemilu nasional dan daerah tak lagi digelar serentak, memberi ruang lebih longgar bagi pemilih, penyelenggara, dan partai politik dalam menjalani pesta demokrasi lima tahunan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]