Oleh MUHAMAD ALI HASAN
Baca Juga:
Tak Terima Dihina, Keluarga Vadel Badjideh Bawa Nikita Mirzani ke Jalur Hukum
PERKEMBANGAN media sosial memudahkan masyarakat melakukan berbagai
aktivitas, termasuk menyampaikan pendapat di muka umum dan bersosialisasi.
Namun,
seringkali penyampaian pendapat yang diunggah berujung pengaduan dugaan tindak
pidana, khususnya pencemaran nama baik.
Baca Juga:
Laporan Nurul Ghufron Terhadap Anggota Dewas KPK Diusut Bareskrim
Data
Divisi Humas Polri, kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan kepada
Kepolisian pada tahun 2020 sebanyak 1.794 laporan.
Melihat
tingginya jumlah laporan tersebut, maka akan menimbulkan ironi apabila semua
terduga pelaku diproses pemidanaan.
Pilihan
tersebut semakin membuat sengkarut ihwal penuhnya kapasitas penjara yang saat
ini menjadi salah satu problematika dalam proses pemidanaan di Indonesia.
Untuk
itu, apakah ada alternatif penyelesaian perkara selain proses pemidanaan?
Apakah
dimungkinkan dilakukan upaya penyelesaian di luar pengadilan terhadap perkara
dugaan pidana pencemaran nama baik?
Perlu
diketahui bahwa pencemaran nama baik dalam hukum pidana Indonesia diatur secara
khusus dalam Pasal 310 KUH Pidana dan Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008
jo. UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pasal
310 KUH Pidana maupun Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengatur hal yang sama, yakni
pencemaran nama baik.
Perbedaannya,
Pasal 310 KUH Pidana mengatur tentang tindakan pencemaran nama baik secara
luring (offline).
Sementara
Pasal 27 ayat (3) UU ITE memperluas jangkauan penerapannya.
Alasan
utamanya adalah perkembangan teknologi yang memungkinkan terjadinya tindakan
pencemaran nama secara secara daring (online).
Tindakan
tersebut dilakukan dengan cara mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diakses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
yang memuat pencemaran nama baik.
Namun,
yang menjadi catatan khusus adalah tindak pidana pencemaran nama baik dalam
Pasal 310 KUHP maupun Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan (klacht delicten).
Hal ini
berarti bahwa dugaan tindak pidana tersebut hanya dapat dilakukan proses
pemidanaan apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan.
Konsekuensi
hukum dari hal tersebut adalah proses pemidanaan delik aduan dapat dicabut atau
dihentikan dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan seperti diatur
dalam Pasal 75 KUHP.
Dalam
praktik, salah satu alasan terjadinya penarikan aduan adalah adanya
"perdamaian" antara korban dan pelaku tindak pidana, salah satu contoh yang
sering terjadi adalah dalam tindak pidana pencemaran nama baik.
Keadilan Restoratif di
Indonesia
Hukum
pidana di Indonesia telah memfasilitasi alternatif penyelesaian perkara dugaan
tindak pidana secara perdamaian dengan diterapkannya keadilan restoratif (restorative justice).
Perdamian
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula dan bukan pada pembalasan.
Penerapan
keadilan restoratif (restorative justice)
awalnya ditujukan untuk tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara
paling lama 3 bulan atau denda 10 ribu kali lipat dari denda.
Hal ini
sebagaimana Nota Kesepakatan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum
dan HAM, Jaksa Agung, dan Kapolri.
Dalam
perkembangannya, keadilan restoratif diterapkan juga dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak yang dikenal dengan istilah Diversi.
Hal ini
ditegaskan pula pada Surat Edaran Kapolri No. SE/8/VII/2018.
Terkait
dengan tindak pidana pencemaran nama baik, Kapolri melalui Surat Edaran No.
SE/2/11/2021, menyampaikan bahwa dalam hal terdapat pengaduan dugaan tindak
pidana pencemaran nama baik, maka pihak kepolisian diminta untuk mengedepankan
keadilan restoratif.
Pihak
kepolisian diminta memprioritaskan upaya perdamaian dalam menyelesaikan
perkara.
Ruang
mediasi harus dibuka seluas-luasnya kepada terduga pelaku tindak pidana dan
korban.
Sementara
proses pemidanaan agar diposisikan sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum
(ultimum remedium).
Proses
penegakan keadilan restoratif dilakukan pada tahap penyelidikan atau tahap
penyidikan.
Namun,
apabila dilakukan pada proses penyidikan, proses keadilan restoratif harus
dilakukan sebelum surat perintah dimulainya penyidikan diserahkan oleh penyidik
kepolisian kepada pihak Kejaksaan.
Terdapat
dua prinsip utama dalam penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif.
Pertama,
kesepakatan antara pihak pelaku dan korban untuk menyelesaikan permasalahan di
luar proses pengadilan.
Kedua,
tindakan sukarela pelaku untuk bertanggungjawab melakukan pemenuhan hak-hak
korban, baik dalam bentuk ganti rugi atau bentuk lainnya, untuk
mengembalikan keadaan seperti semula sebelum tindak pidana.
Kemudian,
setelah terpenuhinya prinsip tersebut, pihak korban mencabut pengaduannya ke
kepolisian.
Merujuk
pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan restoratif sebagai upaya
penyelesaian perkara tindak pidana pencemaran nama baik di luar pengadilan.
Sementara
mekanisme pemidanaan menjadi ultimum
remedium.
Hal ini
bertujuan menjaga keseimbangan di masyarakat, mengembalikan keadaan seperti
semula, dan pengembalian harkat dan martabat seseorang. (Muhamad Ali Hasan, Advokat)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pencemaran
Nama Baik, Dapatkah Diselesaikan secara Damai?", Klik untuk baca:www.kompas.com/konsultasihukum/read/2021/07/25/060000280/pencemaran-nama-baik-dapatkah-diselesaikan-secara-damai-?.