WAHANANEWS.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendesak Komisi III DPR RI agar mempertimbangkan delapan poin penting dalam revisi Rancangan Undang-Undang KUHAP.
Hari ini, Senin (10/2/2025), empat perwakilan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi tersebut menyerahkan surat terbuka kepada Komisi III DPR dan Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI.
Baca Juga:
Soal OTT Capim KPK Johanis Tanak dan Benny Mamoto Beda Pandangan
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Fadhil Alfathan, menjelaskan bahwa koalisi telah melakukan kajian mendalam terhadap RUU KUHAP, yang saat ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
"Kami menilai KUHAP yang telah berlaku sejak Desember 1981 sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan zaman dan kebutuhan perkembangan sistem peradilan pidana," ujar Fadhil dalam konferensi pers di gedung parlemen, Jakarta Pusat.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa KUHP Nasional akan mulai diberlakukan pada 2026. Namun, tanpa aturan yang diatur dalam KUHAP, implementasi KUHP akan sulit dilakukan secara operasional.
Baca Juga:
Soal Dugaan Mark Up Pengadaan Gas Air Mata, Mabes Polri Angkat Suara
“Karena itu, pembaruan KUHAP menjadi kebutuhan mendesak," tambahnya.
Koalisi menyoroti bahwa praktik hukum acara pidana saat ini sudah mencapai tahap yang "mengkhawatirkan", di mana sering terjadi pelanggaran yang berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia, penyalahgunaan kekuasaan, dan penyelewengan hukum.
Dari delapan poin rekomendasi yang diajukan kepada Komisi III, dua hal menjadi perhatian utama.
Pertama, KUHAP saat ini belum memiliki mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang jelas dalam pelaksanaan upaya paksa oleh aparat penegak hukum.
Kedua, KUHAP belum mengatur pengakuan terhadap korban secara eksplisit dalam sistem peradilan pidana.
Melalui surat terbuka yang diajukan, Koalisi Masyarakat Sipil berharap DPR segera mengambil langkah konkret dalam pembaruan KUHAP guna menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan akuntabel.
Mengutip surat terbuka yang ditujukan kepada Komisi III, kedelapan poin rekomendasi yang disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP adalah sebagai berikut:
1. Perbaikan kerangka dasar sistem peradilan pidana dengan menjadikan RUU KUHAP sebagai rekodifikasi hukum acara pidana yang berpegang teguh pada prinsip due process of law (proses hukum yang adil), mekanisme checks and balances (saling kontrol), serta penghormatan pada hak asasi manusia;
2. Memperjelas syarat-syarat objektif untuk dapat melakukan upaya paksa, memperkuat mekanisme checks and balances antar aparat penegak hukum saat proses pelaksanaan upaya paksa, serta membentuk mekanisme uji upaya paksa yang objektif ke pengadilan (judicial scrutiny), termasuk pemulihan dan ganti rugi kepada tersangka/terdakwa/terpidana ketika pelaksanaan upaya paksa dilakukan secara melawan hukum
3. Penguatan hak tersangka, terdakwa, dan terpidana;
4. Pengaturan dan pengujian perolehan alat bukti;
5. Penyelarasan pengaturan tentang penyelesaian perkara di luar persidangan yang sekarang tersebar di berbagai peraturan internal lembaga penegak hukum, melalui mekanisme diversi dengan ruang lingkup tindak pidana dan syarat-syarat yang objektif, serta melibatkan penetapan diversi dari pengadilan (penguatan checks and balances);
6. Perbaikan pengaturan mengenai upaya hukum;
7. Memperkenalkan mekanisme keberatan atas tindakan penegakan hukum yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang lebih efektif dari praperadilan; dan
8. Perbaikan pengaturan hak korban, terutama hak korban (pelapor) untuk mengajukan keberatan/komplain ketika laporannya tidak ditindaklanjuti, hak korban untuk memperoleh informasi dan dilibatkan secara aktif dalam peradilan pidana, serta hak korban untuk memperoleh ganti rugi dan pemuv lihan secara utuh atas kerugian yang dialami dari tindak pidana (restitusi, kompensasi, dan dana bantuan korban).
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]