WAHANANEWS.CO, Jakarta - Selama bertahun-tahun, aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau yang dikenal dengan istilah presidential threshold telah menjadi topik perdebatan hangat di ranah politik Indonesia.
Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur ambang batas tersebut, mewajibkan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara sah secara nasional.
Baca Juga:
MK Hapus Presidential Threshold, Capres Jalur Independen Mulai Dibahas
Aturan ini dianggap membatasi hak politik rakyat karena hanya partai besar atau koalisi besar yang memiliki peluang untuk mengajukan calon, sehingga sering kali memunculkan situasi dengan sedikit pilihan kandidat.
Dominasi ini berdampak langsung pada dinamika politik nasional. Pemilu presiden cenderung didominasi oleh dua pasangan calon, yang tidak jarang memicu polarisasi di tengah masyarakat.
Bahkan, muncul kekhawatiran bahwa jika aturan ini terus dipertahankan, pemilu presiden di masa depan dapat terjebak dalam skenario calon tunggal.
Baca Juga:
MK Putuskan Spa sebagai Bagian dari Layanan Kesehatan Tradisional, Bukan Hiburan
Berbagai gugatan terhadap Pasal 222 UU Pemilu telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sejak aturan ini diberlakukan, tetapi selama ini semua upaya tersebut kandas.
Namun, momen bersejarah akhirnya tercipta. Pada awal Januari 2025, MK memutuskan untuk mengabulkan uji materi terhadap Pasal 222 UU Pemilu.
Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa aturan mengenai presidential threshold bertentangan dengan konstitusi dan tidak sejalan dengan semangat demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Keputusan ini menjadi langkah penting untuk membuka peluang yang lebih adil bagi semua partai politik, terlepas dari besar kecilnya perolehan suara mereka.
Keputusan MK ini tidak hanya menjadi jawaban atas kegelisahan banyak pihak, tetapi juga menandai perubahan signifikan dalam sistem demokrasi Indonesia.
Apa saja alasan MK mengabulkan uji materi ini? Bagaimana implikasinya terhadap sistem pemilu ke depan?
Artikel ini akan merangkum poin-poin penting dari putusan MK, termasuk pedoman rekayasa konstitusional yang diharapkan mampu menciptakan pemilu yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Berikut adalah poin-poin utama terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold:
1. MK Mengabulkan Judicial Review Pasal 222 UU Pemilu
MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi.
Sebelumnya, pasal ini mensyaratkan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional.
Gugatan ini diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
2. Alasan MK Mengabulkan Gugatan
Ambang batas pencalonan presiden dianggap bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.
MK juga menyebut aturan ini melanggar moralitas, rasionalitas, dan menciptakan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.
Rezim ambang batas, berapa pun besarnya, dianggap bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945.
3. Hak Konstitusional Pemilih Dibatasi
Menurut MK, ambang batas menciptakan dominasi partai politik tertentu dalam pemilihan presiden.
Dominasi ini membatasi pilihan pemilih dan mendorong polarisasi masyarakat.
Jika dibiarkan, aturan ini berpotensi menghasilkan hanya dua pasangan calon atau bahkan calon tunggal, yang mengancam kebinekaan bangsa.
4. Imbauan MK dalam Revisi UU Pemilu
MK mengakui potensi jumlah pasangan calon presiden sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu.
MK meminta agar revisi UU Pemilu kelak mengatur agar tidak terlalu banyak pasangan calon yang diusulkan, guna menjaga hakikat pemilu langsung oleh rakyat.
5. Pedoman Rekayasa Konstitusional
Dalam keputusannya, MK memberikan pedoman bagi pembuat undang-undang untuk memastikan pemilu berjalan adil dan demokratis:
Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Pengusulan pasangan calon tidak didasarkan pada persentase kursi di DPR atau suara sah nasional.
Partai politik dapat bergabung mengusulkan pasangan calon, tetapi tidak boleh menciptakan dominasi yang membatasi pilihan pemilih.
Partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon akan dikenai sanksi larangan mengikuti pemilu berikutnya.
Revisi UU Pemilu harus melibatkan partisipasi semua pihak, termasuk partai politik tanpa kursi di DPR, dengan mengedepankan partisipasi publik yang bermakna.
Keputusan MK ini membawa angin segar bagi sistem demokrasi di Indonesia dengan membuka peluang lebih besar bagi partisipasi politik.
Namun, implementasi dari pedoman yang diberikan MK akan menjadi tantangan bagi pembuat undang-undang untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan partai politik dan stabilitas sistem presidensial.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]